Saturday, August 27, 2011

PENYULUH PERIKANAN PROFESIONAL DALAM RANGKA MEMBANGUN KELAUTAN DAN PERIKANAN

August 27, 2011 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments
Penyuluh perikanan yang profesional tersebut akan terbentuk, jika didukung dengan;
1. Ketersediaan fasilitas penyuluhan yang memadai, seperti sarana mobilitas;
2. Peningkatan kapasitas kemampuan yang intensif, terencana, terarah, dan terukur;
3. Spesialisasi yang jelas di bidang penyuluhan kelautan dan perikanan, serta ahli di bidang kelautan dan perikanan; serta
4. Kepastian jenjang jabatan fungsional yang kondusif dan akomodatif
Secara kelembagaan, keberadaan Penyuluh  Perikanan di samping menjalankan fungsi pemberdayaan para pelaku utama, juga mempunyai fungsi cukup besar dalam menyebarkan informasi  pesan pembangunan kelautan dan perikanan, yang meliputi aspek pengelolaan penangkapan ikan, pembudidayaan, konservasi, pemasaran hasil perikanan, pemberdayaan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil, serta pengawasan, dan lain-lain.
Selain itu, sebagai unsur SDM kelautan dan perikanan, para penyuluh tersebut berperan penting dalam akselerasi pembangunan kelautan dan perikanan khususnya dalam revitalisasi penyuluhan kelautan dan perikanan menuju industrialisasi perikanan.
Kondisi tersebut menjadikan justifikasi bahwa penyuluhan kelautan dan perikanan harus ditangani secara khusus, tersendiri, dan mandiri, dan selanjutnya para penyuluh perikanan membutuhkan aspek legalitas bagi keberadaannya.
Beberapa hal utama yang dilakukan dalam penyelenggaraan penyuluhan adalah sebagai berikut:
1. Mewujudkan sistem penyuluhan perikanan yang menjamin terselenggaranya penyuluhan perikanan secara produktif, efektif dan efisien, dinamis dan profesional;
2. Mengembangkan model model penyuluhan perikanan partisipatif untuk membangun kemampuan pelaku utama dan pelaku usaha yang mandiri dan mampu menolong dirinya sendiri;
3. Menjadikan penyuluh perikanan sebagai konsultan serta mitra sejati pelaku utama dan pelaku usaha dalam pendampingan pengembangan kemampuan berusaha bisnis perikanan dalam rangka peningkatan ketahanan pangan, peningkatan nilai tambah, peningkatan daya saing yang akhirnya akan mampu meningkatkan pendapatan keluarga;
4. Memfasilitasi proses pembelajaran bagi pelaku utama dan pelaku usaha;
5. Mengupayakan kemudahan akses pelaku utama dan pelaku usaha ke sumber informasi, teknologi, dan sumber daya lainnya agar mereka dapat mengembangkan usahanya;
6. Meningkatkan kemampuan kepemimpinan, manajerial, dan kewirausahaan pelaku utama dan pelaku usaha; serta
7. Membantu pelaku utama dan pelaku usaha dalam menumbuhkembangkan organisasinya menjadi organisasi ekonomi yang berdaya saing tinggi, produktif, menerapkan tata kelola berusaha yang baik, dan berkelanjutan.
A. Sasaran Penyuluhan Perikanan
Berdasarkan UU No 16 tahun 2006, Pihak yang paling berhak memperoleh manfaat penyuluhan meliputi:
1. Sasaran utama penyuluhan, yaitu pelaku utama dan pelaku usaha:
a. Pelaku utama kegiatan perikanan adalah nelayan, pembudidaya ikan, dan pengolah ikan; serta
b. Pelaku usaha adalah perorangan warga negara Indonesia atau badan hukum yang dibentuk menurut hukum Indonesia yang mengelola sebagian atau seluruh kegiatan usaha perikanan dari hulu sampai hilir.
c. Sasaran antara penyuluhan yaitu pemangku kepentingan lainnya yang meliputi kelompok atau lembaga pemerhati perikanan, perikanan, dan kehutanan serta generasi muda dan tokoh masyarakat.
Pada dasarnya, sasaran penyuluhan adalah manusia biasa dengan segala keterbatasan dan kelebihan masing-masing, sehingga secara umum kondisi yang demikian sangat mempengaruhi efektivitas penyuluhan. Beberapa hal yang perlu diamati pada diri sasaran penyuluhan adalah ada tidaknya motivasi pribadi sasaran penyuluhan dalam melakukan suatu perubahan. Menurut Samsudin (1992), sasaran penyuluhan sebenarnya tidak hanya individunya saja, tetapi meliputi juga keluarganya, kelompok masyarakat yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam usahanya.
Pada kenyataannya, kegiatan penyuluhan akan berhadapan dengan sasaran penyuluhan yang sangat beragam, baik ragam kondisi wilayahnya, maupun keragaman keadaan sosial ekonominya. Oleh karena itu, strategi penyuluhan perikanan yang akan diterapkan harus selalu memperhatikan tujuan penyuluhan dan kaitannya dengan keragaman keadaan sasaran, serta harus di upayakan untuk selalu dapat menembus kendala-kendala yang biasanya muncul dari keragaman-keragaman keadaan sasaran itu.
Beberapa keragaman yang sering menjadi kendala penyuluhan perikanan adalah:
a. Keragaman zona ekologi perikanan, yang sering kali hanya cocok untuk komoditi-komoditi tertentu dan teknologi tertentu yang akan diterapkan;
b. Keragaman dalam kemampuannya untuk menyediakan sumberdaya yang diperlukan (pengetahuan, keterampilan, dana, kelembagaan);
c. Keragaman jenis kelamin, yang bersama-sama dengan nilai-nilai sosial budaya sering muncul sebagai kendala dalam pelaksanaan penyuluhan perikanan. Untuk itu, perlu diperhatikan bahwa, kaum perempuan masih sering belum dilibatkan dalam pelaksanaan penyuluhan perikanan, padahal mereka merupakan tenaga kerja (baik sebagai pengelola maupun pelaksana) yang potensial dalam kegiatan perikanan; dan
d. Keragaman umur sasaran. Dalam kaitan ini, kelompok pemuda pelaku utama berumur 15-24 tahun sesungguhnya merupakan sasaran yang potensial, tetapi seringkali juga belum dilibatkan secara aktif dalam penyuluhan perikanan (baik sebagai sasaran utama penyuluhan maupun sebagai sasaran antara penyuluh perikanan).
Berkenaan dengan masalah ini, strategi penyuluhan kelautan dan perikanan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Pemetaan wilayah penyuluhan kelautan dan perikanan yang akan di layani, khususnya pemetaan wilayah berdasarkan keadaan keragaman ekologi perikanannya;
b. Upaya melibatkan seluruh lapisan masyarakat, baik yang berkaitan dengan kategori Pelaku Utama berdasarkan keinovatifannya, kemampuannya menyediakan sumberdaya, jenis kelamin/gender, dan umurnya dalam kegiatan penyuluhan perikanan; dan
c. Pengembangan rekomendasi teknologi yang tepat guna.
Kegiatan penyuluhan akan berhadapan dengan sasaran penyuluhan yang sangat beragam, baik ragam kondisi wilayahnya, maupun keragaman keadaan sosial ekonominya. Karena itu, strategi penyuluhan kelautan dan perikanan yang akan diterapkan harus selalu memperhatikan tujuan penyuluhan dan kaitannya dengan keragaman keadaan sasaran, serta harus diupayakan untuk selalu dapat menembus kendala-kendala yang biasanya muncul dari keragaman-keragaman keadaan sasaran itu.
Beberapa keragaman yang sering menjadi kendala penyuluhan kelautan dan perikanan  adalah: (1) Keragaman zona ekologi perikanan; (2) Keragaman dalam kemampuannya untuk menyediakan sumberdaya yang diperlukan (pengetahuan, keterampilan, dana, kelembagaan); (3) Keragaman jenis kelamin; dan  (4) Keragaman umur sasaran.
B. Ketenagaan   Penyuluhan Kelautan dan  Perikanan
Berdasarkan UU No. 16 tahun 2006, yang dimaksud dengan tenaga penyuluh perikanan meliputi penyuluh PNS, penyuluh swasta, dan/atau penyuluh swadaya. Pada hakekatnya setiap orang yang mempunyai pengetahuan tentang perikanan dan mampu berkomunikasi dapat menjadi penyuluh perikanan.
Pelaku penyuluhan perikanan meliputi:
1. Penyuluh PNS adalah Pegawai Negeri Sipil yang diangkat oleh pejabat yang berwenang dalam jabatan fungsional penyuluh perikanan;
2. Penyuluh Swasta adalah seseorang yang diberi tugas oleh perusahaan yang terkait dengan usaha perikanan, baik secara langsung atau tidak langsung melaksanakan tugas penyuluhan perikanan, serta mempnyai kompetensi dalam bidang penyuluhan perikanan; dan
3. Penyuluh Swadaya adalah pelaku utama yang berhasil dalam usahanya dan warga masyarakat lainnya yang dengan kesadarannya sendiri mau dan mampu menjadi penyuluh perikanan.
C. Materi Penyuluhan Kelautan dan Perikanan
Dalam UU Nomor 16 tahun 2006, disebutkan bahwa:
1 Materi penyuluhan dibuat berdasarkan kebutuhan dan kepentingan pelaku utama dan pelaku usaha dengan memperhatikan kemanfaatan dan kelestarian sumberdaya perikanan, perikanan, dan kehutanan.
2 Materi penyuluhan sebagaimana dimaksud diatas berisi unsur pengembangan sumberdaya manusia dan peningkatan modal sosial serta unsur ilmu pengetahuan, teknologi, informasi, ekonomi, manajemen, hukum, dan pelestarian lingkungan.
3 Materi penyuluhan dalam bentuk teknologi tertentu yang akan disampaikan kepada pelaku utama dan pelaku usaha harus mendapat rekomendasi dari lembaga pemerintah, kecuali teknologi yang bersumber dari pengetahuan tradisional.
4 Lembaga pemerintah pemberi rekomendasi wajib mengeluarkan rekomendasi segera setelah proses pengujian dan administrasi selesai.
5 Teknologi tertentu sebagaimana dimaksud diatas ditetapkan oleh Menteri.
6 Ketentuan mengenai pemberian rekomendasi pada materi penyuluhan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
D. Rangkuman
Berdasarkan UU No 16 tahun 2006, Pihak yang paling berhak memperoleh manfaat penyuluhan meliputi:
1. Sasaran utama penyuluhan yaitu Pelaku utama kegiatan perikanan adalah nelayan, pembudidaya ikan, dan pengolah ikan; serta Pelaku usaha, yaitu perorangan warga negara Indonesia atau badan hukum yang dibentuk menurut hukum Indonesia yang mengelola sebagian atau seluruh kegiatan usaha perikanan dari hulu sampai hilir.
2. Sasaran antara penyuluhan yaitu pemangku kepentingan lainnya yang meliputi kelompok atau lembaga pemerhati perikanan, perikanan, dan kehutanan serta generasi muda dan tokoh masyarakat.
3. Sasaran penyuluhan sebenarnya tidak hanya individunya saja, tetapi meliputi juga keluarganya, kelompok masyarakat yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam usahanya.
4. Tenaga penyuluh perikanan meliputi Penyuluh PNS, penyuluh swasta dan/atau penyuluh swadaya. Penyuluh PNS adalah Pegawai Negeri Sipil yang diangkat oleh pejabat yang berwenang dalam jabatan fungsional penyuluh. Penyuluh Swasta adalah seseorang yang diberi tugas oleh perusahaan yang terkait dengan usaha perikanan, baik secara langsung atau tidak langsung melaksanakan tugas penyuluhan perikanan. Penyuluh Swadaya adalah penyuluh yang berasal dari pelaku utama perikanan sebagai ketua kelompok atau kontak pelaku utama perikanan.
5. Materi penyuluhan dibuat berdasarkan kebutuhan dan kepentingan pelaku utama dan pelaku usaha dengan memperhatikan kemanfaatan dan kelestarian sumber daya perikanan, perikanan, dan kehutanan. Materi penyuluhan sebagaimana dimaksud diatas berisi unsur pengembangan sumber daya manusia dan peningkatan modal sosial serta unsur ilmu pengetahuan, teknologi, informasi, ekonomi, manajemen, hukum, dan pelestarian lingkungan. Materi penyuluhan dalam bentuk teknologi tertentu yang akan disampaikan kepada pelaku utama dan pelaku usaha harus mendapat rekomendasi dari lembaga pemerintah, kecuali teknologi yang bersumber dari pengetahuan tradisional.
E. Latihan
1. Sebutkan dan jelaskan sasaran penyuluhan perikanan!
2. Sebutkan dan jelaskan secara ketenagaan katagori penyuluh perikanan!  Dalam kategori penyuluh apa anda saat ini dan sebutkan salah satu tugas anda?
3. Sebutkan dan pertimbangan dalam menetapkan materi penyuluhan perikanan!
BAB IV
STRATEGI PENYULUHAN KELAUTAN DAN PERIKANAN
A. Perumusan Strategi Penyuluhan Kelautan dan Perikanan
Pentingnya kegiatan penyuluhan yang harus dilaksanakan pada tahapan-tahapan pembangunan perikanan  terdiri atas 6 (enam) tahap, yaitu:
1. Tahapan pra pembangunan. Pada tahapan ini, kegiatan penyuluhan perikanan belum dilaksanakan, tetapi sedang dipersiapkan.
2. Tahapan eksperimental. Pada tahapan ini, penyuluhan perikanan diharapkan telah mencapai sekitar 1-20 persen Pelaku Utama sasarannya, yakni untuk dijadikan pelaksana pengujian atau demonstrator pada kegiatan-kegiatan demonstrasi yang dilaksanakan dan dikembangkan oleh para penyuluh perikanan.
3. Tahapan pengembangan komoditi. Pada tahapan ini, penyuluhan perikanan diharapkan sudah harus menjangkau 20-40 persen Pelaku Utama, untuk mengadopsi penerapan input-input baru.
4. Tahapan pemantapan komoditi. Pada tahapan ini, penyuluhan diharapkan telah menjangkau 100 persen Pelaku Utama yang dilibatkan dalam keseluruhan proses usahapelaku utama yang mencakup: alokasi sumberdaya, pengorganisasikan Pelaku Utama, pemasaran (pengendalian harga input dan harga produk), serta upaya-upaya dalam mengubah perilaku dari Pelaku Utama subsisten ke Pelaku Utama komersial.
5. Tahapan diversifikasi usaha pelaku utama bernilai tinggi. Pada tahapan ini, penyuluhan diharapkan sudah menjangkau 100 persen Pelaku Utama yang dilibatkan pada usaha pelaku utama komersial yang memproduksi produk-produk perikanan bernilai ekonomi tinggi.
6. Tahapan intensifikasi modal. Pada tahapan ini, penyuluhan  diharapkan telah menjangkau 100 persen Pelaku Utama yang dilibatkan dalam upaya pemanfaatan lahan secara optimal dengan penggunaan modal yang semakin insentif (baik untuk investasi maupun eksploitasi).
Di samping itu, perumusan strategi penyuluhan kelautan dan perikanan juga harus diarahkan untuk meningkatkan keterlibatan kaum perempuan dan generasi muda dalam penyuluhan perikanan. Khusus yang menyangkut peningkatan peran wanita/perempuan dalam penyuluhan perikanan, perlu diperhatikan bahwa:
1. Kaum perempuan terbukti memberikan kontribusi yang besar dalam perikanan, tetapi masih jarang dilibatkan dalam pertemuan-pertemuan atau kegiatan penyuluhan perikanan; dan
2. Kaum perempuan belum memperoleh perhatian yang sederajat dengan kaum pria, baik dalam kegiatan penyuluhan maupun dalam pelaksanaan seluruh kegiatan perikanan.
Sejalan dengan itu, upaya peningkatan peran generasi muda, perlu dilaksanakan kegiatan-kegiatan penyuluhan kelautan dan perikanan yang bertujuan untuk menyiapkan mereka sebagai Pelaku Utama komersial (wirausahawan) yang tangguh di masa depan. Untuk itu, beberapa program/kegiatan yang perlu dirancang adalah:
1. Pengembangan kepemimpinan, untuk menyiapkan mereka sebagai pelopor pembangunan di masa depan;
2. Kewarganegaraan, untuk memupuk rasa tanggung jawab sebagai warga negara, yang peka terhadap masalah-masalah pembangunan nasional dan selalu sadar tentang perlunya pembangunan; serta
3. Pengembangan pribadi, khususnya yang berkaitan dengan perilaku, kepercayaan diri, dan keterampilan mengemukakan pendapat melalui latihan berorganisasi.
Kegiatan penyuluhan kelautan dan perikanan adalah suatu kegiatan yang memiliki tujuan yang jelas dan harus dapat dicapai. Oleh sebab itu, setiap pelaksanaan penyuluhan perikanan perlu dilandasi oleh strategi kerja tertentu demi keberhasilannya untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Dalam kaitan ini, sebelum merumuskan suatu strategi yang ingin diterapkan, setiap kegiatan penyuluhan kelautan dan perikanan perlu untuk selalu mengingat peranan penyuluhan sebagai perantara atau penghubung antara “kegiatan penelitian perikanan” (yang selalu berupaya menemukan dan mengembangkan teknologi perikanan) dan “penerapan teknologi” yang dilaksanakan Pelaku Utama sebagai pengguna hasil-hasil penelitian.
Lebih lanjut, sebagai pertimbangan penentu strategi yang akan diterapkan, perlu diperhatikan beberapa hal yang menyangkut:
1) Spesifikasi tujuan penyuluhan untuk mencapai sasaran pembangunan perikanan;
2) Identifikasi kategori Pelaku Utama;
3) Perumusan Strategi penyuluhan untuk penerapan teknologi.
B. Landasan Penyelenggaraan Penyuluhan Kelautan dan Perikanan.
Salah satu hal yang harus diingat sebelum melaksanakan penyuluhan perikanan, adalah perlu adanya ketegasan tentang kebijakan perikanan dalam kaitan untuk mencapai tujuan pembangunan, baik untuk tingkat nasional, regional, maupun di tingkat lokal.
Adanya ketegasan mengenai kebijakan perikanan ini, akan sangat menentukan, seberapa jauh aktivitas yang akan dilaksanakan oleh pengambil kebijakan/keputusan di wilayah dan aparat penyuluhan perikanan itu sendiri dalam menggerakkan partisipasi masyarakat demi tercapainya tujuan pembangunan yang diinginkan. Oleh karena itu, strategi awal yang harus diterapkan dalam pelaksanaan penyuluhan, adalah: harus diupayakan adanya komitmen pengambil keputusan/kebijakan terhadap pentingnya pembangunan perikanan dan kaitannya dengan pembangunan masyarakat dalam arti luas, yang dinyatakan dalam bentuk kebijakan perikanan yang realistis sejalan dengan upaya pencapaian tujuan pembangunan.
C. Alternatif Teknologi Kelautan dan Perikanan
Teknologi perikanan, pada dasarnya dapat dibedakan menjadi 4 (empat) macam, yaitu: teknologi hemat tenaga, teknologi hemat-lahan, teknologi yang berskala netral, dan teknologi tepat guna, yang masing-masing memiliki karakteristik sendiri serta menuntut kondisi wilayah tertentu untuk dapat disuluhkan dengan baik.
Sehubungan dengan itu, pemilihan strategi penyuluhan harus memperhatikan tipe-tipe teknologi perikanan yang ingin disuluh untuk diterapkan para Pelaku Utama sasarannya. Baik yang berkaitan dengan kesesuaian teknologi dengan kondisi wilayah karakteristik teknologi itu sendiri, maupun karakteristik Pelaku Utama yang dijadikan sasaran penyuluhannya.
Untuk itu, dalam menerapkan teknologi juga harus mengacu pada UU No. 16 Tahun 2006 tentang SP3K pasal 28 ayat (1) yang menyatakan bahwa Materi penyuluhan dalam bentuk teknologi tertentu yang akan disampaikan kepada pelaku utama dan pelaku usaha harus mendapat rekomendasi dari lembaga pemerintah, kecuali teknologi yang bersumber dari pengetahuan tradisional. Selanjutnya pada pasal 28 ayat (2) menyatakan bahwa Lembaga pemerintah pemberi rekomendasi wajib mengeluarkan rekomendasi segera setelah proses pengujian dan administrasi selesai. Untuk itu, teknologi tertentu yang dimaksud adalah teknologi yang diperkirakan dapat mengganggu lingkungan hidup, mengganggu kesehatan dan ketentraman masyarakat, dan menimbulkan kerugian harus telah ditetapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan.
Implikasinya, sesuai pasal pasal 35 ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap penyuluh PNS yang melakukan penyuluhan dengan materi teknologi tertentu yang belum mendapat rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berdasarkan peraturan perundang-undangan bidang kepegawaian dengan memperhatikan pertimbangan dari organisasi profesi dan kode etik penyuluh. Senada dengan itu, sesuai pasal 35 ayat (3) dan (4) menyatakan bahwa setiap penyuluh swasta dan penyuluh swadaya yang melakukan penyuluhan dengan materi teknologi tertentu yang belum mendapat rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan sertifikat sebagai penyuluh dengan memperhatikan pertimbangan dari organisasi profesi dan kode etik penyuluh. Kecuali bagi penyuluh swadaya yang menerapkan materi teknologi yang bersumber dari pengetahuan tradisional.
D. Strategi Difusi Inovasi
Sudah sejak lama, strategi penyuluhan yang dilaksanakan selalu mengacu kepada teori difusi, yakni menggunakan Pelaku Utama lapisan atas (perintis)sebagai sasaran utama penyuluhan. Strategi ini dipilih, karena proses adopsi inovasi akan relatif lebih cepat. Untuk itu, melalui proses difusi, diharapkan para Pelaku Utama-perintis ini akan dijadikan anutan oleh para Pelaku Utama yang lain. Akan tetapi, strategi ini ternyata berakibat pada semakin lebarnya kesenjangan keadaan sosial-ekonomi antar kelompok Pelaku Utama. Hal ini terjadi, karena:
1. Keengganan kelompok perintis untuk menyebarluaskan keberhasilan kepada kelompok pelaku utama yang lain; dan
2. Keengganan kelompok Pelaku Utama yang lain untuk meniru keberhasilan Pelaku Utama perintis, baik karena ketidak mampuan mereka untuk memenuhi persyaratan teknis (karena tidak cukup memiliki pengetahuan, keterampilan, dan dana) maupun ketidakberanian mereka untuk menghadapi resiko kegagalan.
Keaaan seperti itu, mendorong para peserta WSRRD (World Conference on Agrarian Reform and Rural Development) pada tahun 1979 untuk mengeluarkan rekomendasi tentang upaya “peningkatan pertumbuhan dengan pemerataan”. Dengan demikian, setiap upaya penyuluhan perikanan kiranya perlu mengkaji kembali strategi penyuluhan yang menjamin semua kelompok Pelaku Utama dapat menikmati/memperoleh informasi penyuluhan perikanan secara seimbang.
E. Rangkuman
Pentingnya kegiatan penyuluhan yang harus dilaksanakan pada tahapan-tahapan pembangunan perikanan yang terdiri atas 6 (enam) tahap, yaitu: (1) Tahapan pra pembangunan; (2) Tahapan ekperimental; (3) Tahapan pengembangan komoditi; (4) Tahapan pengembangan komoditi; (5) Tahapan diversifikasi usaha; dan (6) Tahapan intensifikasi modal.
Peranan penyuluhan sebagai perantara atau penghubung antara “kegiatan penelitian perikanan”(yang selalu berupaya menemukan dan mengembangkan teknologi perikanan) dan “penerapan teknologi” yang dilaksanakan Pelaku Utama sebagai pengguna hasil-hasil penelitian.
Pertimbangan penentu strategi penyuluhan kelautan dan perikanan yang akan diterapkan, perlu diperhatikan beberapa hal yang menyangkut:
1. Spesifikasi tujuan penyuluhan untuk mencapai sasaran pembangunan perikanan.
2. Identifikasi kategori Pelaku Utama
3. Perumusan Strategi penyuluhan untuk penerapan teknologi
4. Pemilihan metoda penyuluhan yang diterapkan.                                                                                             ii.    
F. Latihan
1. Sebutkan dan Jelaskan tahapan pembangunan perikanan dalam proses penyuluhan menurut!
2. Gambarkan dan jelaskan keterkaitan penelitian dan penyuluhan perikanan!
3. Bagaimana peranan penyuluhan perikanan dalam pembangunan perikanan?
4. Sebutkan dan Jelaskan beberapa pertimbangan dalam menentukan strategi penyuluhan perikanan.

Thursday, August 25, 2011

MENCANGKOK KARANG LAUT

August 25, 2011 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments


Waktu di dasar laut berkedalaman 5—6 m. Sebuah tang aluminium memotong-motong cabang Acropora kimbeensis. Hasil potongan dibawa ke daratan untuk ditumbuhkan di dalam mangkuk berisi semen. Tujuh bulan kemudian karang siap dipanen. Sebelum ditanam, potongan-potongan karang itu dibersihkan dari lendir dalam bak berukuran 10 m x 1 m x 50 cm. Selanjutnya setiap potongan ditancapkan di dalam mangkuk terbuat dari campuran semen dan pasir dengan perbandingan 1:4. Sebagai perekat dipakai semen. Karang yang akan ditumbuhkan itu didiamkan dalam bak air laut bersalinitas 33 ppt selama 2—3 hari. Selanjutnya mereka diletakkan di mangkuk-mangkuk berisi potongan karang dalam anjang-anjang yang terbuat dari kayu meranti. Agar kuat, tiap mangkuk dilekatkan ke tali senar yang terpasang di kanan kiri baris anjang-anjang. Proses itu belum berakhir. Anjang-anjang lantas dipindahkan ke laut dan diletakkan dalam meja persegi panjang berpondasi beton. Selama 30 hari karang-karang itu tampak stres. Itu terlihat dari lapisan kerak atau encrusting yang terbentuk setebal 1—2 cm di atas substrat. Namun, dari lapisan kerak itu bermunculan polip-polip yang akan membentuk cabang karang baru. Dalam waktu 7 bulan karang sudah membentuk lebih dari 4 cabang dan siap dipanen. Panen dilakukan dengan cara mengangkat anjang-anjang ke daratan, lalu ditaruh dalam bak 10 m x 1 m x 50 cm. Sebelum dikemas, substrat yang tertutup lumut dan alga digosok. Setelah bersih, dasar substrat diikatkan ke gabus agar mengapung saat dimasukkan ke dalam kantong plastik berisi air hasil aerasi dengan skimmer. Oksigen ditambahkan ke dalam kantong plastik agar karang dapat bertahan hingga 48 jam perjalanan. Setelah itu plastik diikat dan dimasukkan dalam boks berkapasitas 15 kantong yang diberi lubang di kanan-kirinya. Supaya tetap segar, di atas plastik diberi bongkahan es lalu ditutup selembar plastik. Boks styrofoam itu dimasukkan dalam boks karton berlapis plastik. Karang-karang hasil budidaya pun siap dikirim ke negara tujuan.
Berpolip kecil
Itulah proses transplantasi karang yang rutin dilakukan PT Purawisata Baruna, unit koral, Grup Pura, di Pulau Sambangan, Kepulauan Karimunjawa, sejak 2002. Sebanyak 42.000 karang hasil budidaya diekspor ke Eropa (Belanda, Jerman, Perancis, Italia, dan Spanyol), Amerika Serikat, dan Asia (Hongkong, China, Singapura, dan Arab). Jumlah  itu sesuai dengan izin ekspor yang tertuang dalam SK Dirjen PHKA nomor SK 53/IV/IV-KKH/2007 tentang Penetapan Pembagian Kuota Ekspor Tumbuhan dan Satwa Liar 2007.
Bukan tanpa alasan perusahaan yang dikomandoi Jacobus Busono itu giat melakukan transplantasi. “Keragaman karang di sini tak kalah dengan Kepulauan Seribu atau Rajaampat di Papua. Namun, bila terus diambil maka akan punah,” kata Dwi Murtono, ST, pimpinan unit. Adanya transplantasi membuat ketersediaan karang melimpah dan tidak habis meski diekspor. Dampaknya, kehidupan terumbu karang tetap berlangsung harmonis. Yang ditransplantasi adalah jenis small polyp stony (karang batu berpolip kecil, red), seperti genus acropora, montipora, pocillopora, dan hydnopora. “Hampir 90% jenis-jenis itu karena memang pertumbuhannya cepat, terutama yang berbentuk cabang dan foliosa (daun),” kata Dwi. Sisanya jenis large polyp stony yang kebanyakan berbentuk massive (keras) dan submassive. “Masih dalam percobaan,” tambahnya. Itu lantaran bentuk massive dan submassive bulat dan keras bak batu sehingga sulit dipecah. Ditambah lagi pertumbuhannya lambat. “Setahun hitungannya milimeter,” tutur Dwi.
Achantastrea
Tingkat keberhasilan pencangkokan karang jenis-jenis itu mencapai 80%. Keberhasilan itu berkat kerja sama dengan zoocanthellae yang hidup dalam polip karang. “Zooxanthellae membantu penyerapan matahari untuk proses fotosintesis,” ujar Wisnu Widjatmoko, MSc. Menurut lulusan Biologi Karang Universitas Ryukios, Jepang itu matahari dibutuhkan karang sebanyak 95% untuk menghasilkan energi. Dari 80% yang berhasil dicangkok, 20%-nya dikembalikan ke alam—reseeding. Tujuannya untuk pelestarian terumbu karang. Karang yang dilepas ke alam ditaruh di dalam beton berukuran 40 cm x 40 cm. Letaknya berdekatan dengan karang yang tumbuh di alam. Keberhasilan mencangkok bukan berarti tanpa kematian. Sebanyak 20% karang mati gara-gara hama dan sedimentasi yang menyerang saat dipindahkan ke laut. Hama yang kerap mengganggu adalah Achantastrea plantii. Keluarga karang yang memiliki ratusan kaki itu memakan jaringan karang di dekatnya. Achantastrea itu bermunculan ketika bahan organik dan populasi karang padat. “Saat jumlah achantastrea melimpah, dalam sehari semua karang yang ditransplansi mati,” ujar Dwi. Hama lain adalah pinthaster yang berbentuk seperti bola. Ia sama ganasnya dengan achantastrea yang memakan polip karang. Selain jenis karang lain yang menjadi predator, alga pun mengganggu kehidupan karang. Contohnya alga ulfa dan spadina yang muncul setiap Agustus -Oktober. Keduanya menempel di substrat lalu menjalar sampai ke polip. Akibatnya tubuh karang tertutup dan tak dapat menyerap matahari.
Sedimentasi
Peletakkan anjang-anjang yang salah menjadi ancaman serius keberhasilan tranplantasi. Garagara salah pemilihan tempat, PT Purawisata Baruna harus menanggung kematian transplantasi sebanyak 50%. Itu akibat kesalahan meletakkan 20 anjang-anjang. Di kedua tempat itu arus laut kurang sehingga alga yang menjadi makanan karang menjadi sedikit. Selain arus, sedimentasi menjadi ancaman lain ketika salah meletakkan anjang-anjang. Saat upwelling (arus dari dasar laut naik ke atas, red) materi lumpur dan pasir akan terseret ombak. Laut menjadi keruh, materi menutupi polip, dan sinar matahari tidak dapat diserap. Akibatnya biota mati. Kejadian itu pernah menimpa pantai utara Jawa. Dari muara sungai limbah pabrik terbawa ke laut saat banjir. Dalam kondisi itu transplantasi karang akan mengalami kegagalan. Kekeruhan air dapat diukur dengan memakai tutup kaleng yang dicat hitam atau putih. “Warna apa saja bisa asal kontras dengan warna laut,” kata Arif Budiwibowo SPi, kepala operasional PT Purawisata Baruna. Saat tutup kaleng sudah tidak terlihat pada kedalaman 30 cm tandanya air laut keruh. Artinya sinar matahari tidak dapat diserap zooxanthellae karena terhalang oleh materi-materi sedimentasi. Untuk mengatasinya Arif merelokasi anjanganjang ke belakang pulau yang berjarak 200 m dari bibir pantai. Lokasi itu dipilih karena berarus sedang, tidak terlalu deras atau lemah. Arus sedang cocok untuk karang-karang dangkal seperti jenis-jenis yang dibudidayakan perusahaan yang berpusat di Jepara itu. Tak hanya itu saja, lokasi harus datar agar anjanganjang kuat saat diterjang arus. Hal lain, tempat anjang-anjang harus terhindar dari terjangan angin barat atau timur.
Dalam akurium
Proses transplantasi dapat juga dilakukan dalam akuarium. Seperti uji coba yang dilakukan Dr Unggul Aktani dan Center for Coastal and Marine Resources Studies Institut Pertanian Bogor pada 2004. Saat itu 5 cabang A. yongei dilekatkan dalam substrat campuran pasir dan semen, kemudian ditata dalam anjang-anjang. Anjanganjang tidak perlu dibawa ke laut, melainkan tetap dalam akuarium. “Yang terpenting kualitas air,” ujar Unggul. Agar sesuai dengan kondisi di laut, air yang dipakai
bersalinitas 30—34 ppt. Ketika salinitas naik lantaran terjadi penguapan, air dalam akuraium perlu ditambah air tawar. “Sampai nilainya kembali normal,” tambahnya. Untuk mengukur salinitas dipakai salinometer. Selain kualitas air, ketersediaan pakan artemia dan udang kecil menentukan keberhasilan pertumbuhan karang. Pakan itu diberi setiap hari. Sisa pakan dan kotoran diatasi dengan filter mekanis memakai spon. “Kotoran akan tersedot secara otomatis. Namun, filter secara rutin harus dibersihkan,” tutur alumnus Ekologi Terumbu Karang Universitas Bremen Jerman itu. Serangkaian perlakukan itu meningkatkan keberhasilan transplantasi dalam akuarium mencapai 70%. Sisanya, 30%, mati. Penyebabnya kualitas air dan perubahan suhu yang tajam. Di Bogor—tempat percobaan—suhu malam hari turun. Suhu akuarium pun ikut turun menjadi 24°C. Perlakuan serupa juga diterapkan Daniel Knop, akuaris asal Jerman. Beragam jenis acropora ditransplantasinya dalam akuarium. Hasilnya dipakai sebagai ornamen akuarium laut. Itulah beragam cara transplantasi. Hasil transplantasi, selain dikembalikan ke alam sebagai wujud pelestarian terumbu karang juga dapat di ekspor ke mancanegara.

Tuesday, August 23, 2011

Ikan pelagis kecil di perairan Selat Bali terdiri dari berbagai jenis ikan seperti lemuru, layang, kembung, tembang dan selar

August 23, 2011 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments


PENDAHULUAN
Perikanan lemuru di perairan Selat Bali berkembang sangat pesat sejak diperkenalkannya alat tangkap pukat cincin oleh peneliti Lembaga Penelitian Perikanan Laut (LPPL) yang sekarang menjadi BPPL yaitu pada tahun 1972 . Sumberdaya ikan pelagis kecil di perairan Selat Bali terdiri dari berbagai jenis ikan seperti lemuru, layang, kembung, tembang dan selar, tetapi yang dominan adalah ikan lemuru (Sardinella lemuru). Hasil tangkapan ikan lemuru memberi kontribusi yang sangat besar terhadap total hasil tangkapan pukat cincin di perairan Selat Bali (Merta et al., 2000; Budiharjo et al., 1990; Wudianto, 2001). Pada tahun 1998 ikan lemuru memberikan kontribusi sebesar 98% terhadap total hasil tangkapan armada pukat cincin di Selat Bali (Wudianto, 2001). Pesatnya    perkembangan perikanan lemuru ini didukung pula oleh adanya pabrik-pabrik pengolahan, seperti pengalengan ikan, pemindangan, tepung ikan, serta industri jasa penyimpanan ikan (cold storage)  yang terdapat di sekitar tempat pendaratan utama, yaitu di Muncar dan Pengambengan.
Secara umum, tingkat pemanfaatan ikan lemuru di Selat Bali dari tahun ke tahun terus meningkat. Terjadinya peningkatan pemanfaatan sumber daya ikan, di samping armada penangkapan (baik ukuran maupun jumlah) yang bertambah, disebabkan pula oleh meningkatnya kapasitas alat tangkap, mesin penggerak dan pemanfaatan alat bantu penangkapan seperti penggunaan lampu sebagai alat bantu pengumpul ikan. Dengan pemanfaatan sumber daya ikan lemuru yang semakin meningkat, diduga mengakibatkan terjadinya penurunan stok sumberdaya ikan lemuru di perairan Selat Bali. Dengan adanya tekanan pemanfaatan sumber daya ikan diperkirakan memiliki dampak terhadap proses biologi dari ikan tersebut.
Tulisan ini menguraikan hasil kajian biologi reproduksi ikan lemuru yang selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan masukkan bagi upaya pengelolaan terhadap sumber daya ikan lemuru di wilayah perairan Selat Bali sehingga pemanfaatan sumber daya ikan tersebut dapat dilakukan secara berkelanjutan.
BAHAN DAN METODE
Figure 1. Fishing ground of Bali sardinella (S.lemuru) in Bali Strait waters Keterangan/Remarks:
Zona I    : Karang Ente, Tanjung Pasir, Ujung Angguk;
Zona II    : Sembulungan, Anyir, Watu Layar, Sekeben, Senggrong, Klosot, Prepat, Lampu Kelip, Kapal pecah;
Zona III: Teluk Pang-pang (khusus bagan);
Zona IV    : Blimbing Sari, Bomo;
Zona V    : Pengambengan, Kayu Gede;
Zona VI    :  Bukit, Benoa, Jimbaran, Pemancar;
Zona VII: Grajagan, Pancer, Watu loro (Samudera Hindia).
Pengambilan contoh ikan lemuru (Sardinella lemuru) yang diamati aspek biologinya merupakan hasil tangkapan pukat cincin yang beroperasi di perairan Selat Bali. Pengambilan contoh ikan dilakukan secara rutin bulanan oleh peneliti dan enumerator mulai bulan Agustus 2010 hingga Desember 2011 di Pelabuhan Perikanan Pantai Muncar, Banyuwangi. Ikan contoh diambil secara acak melalui pengukuran sistematis dengan mengikuti standar prosedur pengambilan contoh dan pengukuran menurut Suwarso (2010). Daerah penangkapan ikan lemuru menyebar di perairan Selat Bali dan dapat dikelompokkan seperti pada Gambar 1 berikut:
Prosedur Pra Pengambilan Contoh
Berdasarkan pengamatan pra sampling yang dilaksanakan pada bulan Agustus 2010 menunjukkan bahwa gonad jantan dan betina ikan lemuru kategori dewasa (adult) sudah dapat dibedakan pada ukuran mulai 13-14 cmFL. Untuk ukuran dibawah panjang tersebut pada umumnya belum dewasa dan ciri-ciri gonad jantan dan betina belum dapat dibedakan secara jelas. Oleh karena itu, pengambilan contoh ikan untuk diamati tingkat kematangan gonadnya dilakukan terhadap ikan yang berukuran > 13 cmFL.
Pengambilan contoh ikan menggunakan metode acak proporsional menurut kelas panjang dimana setiap ukuran kelas panjang diwakili oleh jumlah ikan contoh yang sama. Pengambilan contoh dilakukan setiap bulan sebanyak 30600  ekor/bulan (rata-rata 238 ekor/bulan). Karakter individu yang diukur meliputi jenis kelamin, panjang total ( TL) dan panjang cagak (FL) dalam centimeter, bobot tubuh dalam keadaan segar (gram), tingkat kematangan gonad, dan bobot gonad segar (gram). Tingkat kematangan gonad diamati secara visual mengikuti skala kematangan gonad standard (five point maturity scale for partial spawners) yang mengacu pada Holden & Raitt (1974) seperti disajikan pada Tabel 1. Tambahan sampel juga dilakukan untuk melengkapi kekurangan ikan contoh pada ukuran tertentu terutama ikan yang berukuran besar (>17 cmFL).
Tabel 1. Deskripsi tingkat kematangan gonad Table 1. Description of gonad maturity stages
Stadium/ Stage     Status/ Condition     Keterangan/Remarks 
I     Belum matang/ Immature     Ovari dan testes kira-kira 1/3 panjang rongga badan. Ovari berwarna kemerah-merahan bening. Testes berwarna keputih-putihan. Telur tidak terlihat dengan mata telanjang
II     Perkembangan/ Developing     Ovari dan testes kira-kira ½ panjang rongga badan, bening atau jernih. Testes keputih-putihan, kurang lebih simetris. Telur tidak terlihat dengan mata telanjang
III     Pematangan/ Ripening     Ovari dan testes kira-kira 2/3 panjang rongga badan. Ovari berwarna kuning kemerah-merahan dan butiran telur mulai kelihatan. Testes keputih-putihan sampai krem. Tidak ada telur yang tembus cahaya atau jernih.
IV     Matang/
Ripe or Fully Mature     Ovari dan testes 2/3 sampai memenuhi rongga badan. Ovari berwarna merah jambu/orange dengan pembuluh darah terlihat jelas di permukaannya. Terlihat telur yang masak dan tembus cahaya. Testes keputih-putihan/krem dan lembut
V     Mijah salin/ Spent     Ovari dan testes mengerut sampai menjadi kira-kira ½ rongga badan. Dinding-dinding mengendur. Ovari dapat mengandung sisa-sisa telur 

Sumber/     Source:  Holden & Raitt  (1974).
Analisis Data
Penentuan musim pemijahan dianalisis berdasarkan pada pola fluktuasi bulanan dari nilai Indeks Kematangan Gonad (IKG) atau gonado somatic index (GSI) dengan perhitungan menurut Effendie (2002):
  ...................................... (1)
dimana: Wg = bobot gonad segar (gram) W   = bobot tubuh ikan (gram)
Ukuran panjang pertama kali lemuru tertangkap (length at first capture atau Lc) diperoleh dengan cara memplotkan frekuensi kumulatif ikan yang tertangkap dengan panjang cagak sehingga akan diperoleh kurva logistik baku, dimana titik potong antara kurva logistik baku dengan 50% frekuensi kumulatif merupakan nilai ratarata ukuran panjang ikan yang tertangkap.
Ukuran panjang saat pertama kali ikan lemuru mencapai kematangan gonad (Lm) dihitung mengikuti metode Spearman-Karber menurut Udupa (1986) pada persamaan (2). Asumsi yang digunakan adalah tingkat kematangan gonad III (ripening) juga dianggap sebagai ikan-ikan yang mature, hal ini dipertimbangkan karena ikan lemuru dengan kondisi TKG IV (mature) jumlahnya sangat sedikit.
m=(Xk+X/2)-(X.Spi )...................................... (2)
Kisaran panjang ikan pertama kali matang gonad diperoleh dari nilai antilog m (M) pada selang kepercayaan 95% :
M = antilog [m±1,96 var(m)]  ...................(3) dimana:
m =    log panjang ikan saat pertama matang gonad
M =    anti Log dari m
Xk =    log ukuran ikan di mana 100% ikan contoh sudah matang
X =    pertambahan log panjang nilai tengah kelas
pi =    proporsi ikan matang pada kelompok ke-i
HASIL DAN BAHASAN
HASIL
Nisbah Kelamin Berdasarkan Struktur Ukuran dan Daerah Penangkapan
Contoh ikan lemuru (Sardinella lemuru)  yang diamati dalam penelitian ini secara keseluruhan berjumlah 2.851 ekor, terdiri dari 2.620 ekor ikan dewasa (adults)  dan  231 ikan muda (sub adults) . Ikan lemuru memiliki ukuran panjang cagak dengan nilai tengah berkisar antara 13,519 ,5 cmFL. Sampel ikan lemuru terbanyak ditangkap dari daerah penangkapan zona II yaitu sebanyak 43,07%, kemudian zona I (22,80%) dan zona VI (18,69%), sedangkan yang tertangkap di zona V dan VII berturut-turut adalah 7 ,3% dan 1,79%. Ikan lemuru yang tertangkap di daerah yang tidak diketahui daerah penangkapannya (unknown zone)  sebanyak 6,31%.
Secara keseluruhan nisbah kelamin ikan lemuru jantan dan betina pada penelitian ini adalah 1:1,09 (Gambar 2).
Jumlah ikan jantan keseluruhan adalah 1.353 ekor, betina 1.475 ekor, sedangkan sisanya 23 ekor tidak teridentifikasi. Dengan uji khi-kuadrat menunjukkan bahwa rasio jenis kelamin ikan lemuru tidak berbeda nyata dan berada dalam keadaan seimbang. Namun demikian apabila didasarkan    pada struktur ukuran ikan terjadi perbedaan yang signifikan pada nisbah kelamin ikan lemuru jantan dan betina terutama pada ikan yang berukuran besar, dimana ikan lemuru betina lebih banyak dari pada jantan (Gambar 2 a ).

14.0-15.0 15.0-16.0 16.0-17.0 17.0-18.0 18.0-19.0 19.0-20.0        Zone I     Zone II     Zone V     Zone VI     ZoneVII     Unknown
(521)    (678)    (840)    (519)    (51)    (2)    (a)    (627)    (1057)    (209)    (527)    (51)    (149)    ( b )
Gambar 2. Rasio jenis kelamin ikan lemuru menurut: a) struktur ukuran dan (b) daerah penangkapan
Figure 2. Sex Ratio of Bali Sardinella according to: a) size structure and b) fishing ground
Rata-rata Ukuran Panjang Populasi Tertangkap (Lc) dan Pertama Kali Matang Gonad (Lm)
Berdasarkan hasil analisis didapatkan bahwa ikan lemuru yang tertangkap di perairan Selat Bali memiliki ratarata ukuran panjang (Lc) sebesar 14,23 cm (Gambar 3). Ikan lemuru betina mengalami matang gonad untuk pertama kalinya pada ukuran panjang cagak 18,9 cm atau pada kisaran antara 18,4-19,4 cm. Sedangkan ikan lemuru jantan berada dalam kondisi matang gonad untuk pertama kalinya pada ukuran panjang 17,78 cm. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ikan lemuru betina mengalami matang gonad pada ukuran yang lebih besar dibandingkan ikan lemuru jantan.

TKG, IKG dan Musim Pemijahan
Secara umum terdapat korelasi antara ukuran panjang dengan tingkat kematangan gonad ikan. Semakin besar ukuran ikan semakin berkembang pula tingkat kematangan gonadnya. Tingkat kematangan gonad juga berpengaruh pada indeks kematangan gonad, yaitu semakin matang gonad ikan maka indeks kematangan gonad semakin tinggi ( Gambar 4). Hasil pengamatan visual tingkat kematangan gonad (TKG) menunjukkan lebih dari 90% ikan lemuru betina dan jantan adalah ikan-ikan belum matang (TKG I dan II). Ikan lemuru immature ditemukan di seluruh zona penangkapan di Selat Bali. Ikan lemuru betina dengan gonad yang sudah matang (TKG III dan IV) ditemukan

Gambar 3.Frekuensi kumulatif dari distribusi frekuensi panjang ikan lemuru di perairan Selat Bali
Figure 3. Cumulative frequency of the length frequency distribution of Bali sardinella caught from Bali Strait waters
pada perairan Selat Bali bagian selatan atau zona I dan VI masing-masing 19 dan 48 ekor. Sedangkan ikan lemuru jantan yang matang gonad ditemukan pada zona I, II dan VI masing-masing berjumlah 22, 19 dan 14 ekor. Sedangkan tahapan “mijah salin” (spent)  ditemukan pada bulan November 2010 dan September 2011 (Gambar 5).
Perkembangan kematangan gonad pada umumnya ditunjukkan oleh indeks kematangan gonad (Gonad somatic index atau GSI) yang nilainya berfluktuasi setiap bulan. Hasil pengamatan menunjukkan GSI ikan betina berkisar antara 0,03–14,4% (rata-rata 0,53%), sedangkan pada ikan jantan GSI antara 0,02–10,7% (rata-rata 0,47%). Gonad somatic index ikan lemuru jantan dan betina memiliki puncak pada bulan September (2010 & 2011), kemudian menurun pada bulan Oktober. NIlai GSI pada bulan September 2010 dan 2011 berturut-turut adalah 5,5% dan 14,4%.

 22.0    15

I    II    III    IV    V    I    II    III    IV    V
TKG / Gonad stage maturity    TKG / Gonad stage maturity
Gambar 4. Perkembangan tingkat kematangan gonad berdasarkan (a) ukuran panjang dan (b) nilai GSI pada ikan lemuru betina
Figure 4. Development of gonad maturity state according to (a) length of fish and (b) GSI for female of Bali sardinella

Gambar 5. Tingkat kematangan gonad ikan lemuru menurut bulan penelitian dan zona penangkapan; (a) betina dan (b) jantan
Figure 5. Gonad maturity stage of bali sardinella based on month and fishing zone; (a) female and (b) male
Daerah penangkapan/fishing ground    Daerah penangkapan/fishing ground
Gambar 6. Fluktuasi indeks kematangan gonad ikan lemuru (S.lemuru)  menurut waktu penelitian dan zona penangkapan : ( a) betina dan (b) jantan
Figure 6. Fluctuation of gonado somatic index of Bali sardinella (S.lemuru) based on month and fishing zone: (a)

female and (b) male
BAHASAN
Pengamatan terhadap nibah kelamin ikan lemuru sangat penting karena untuk mengetahui keseimbangan populasi ikan jantan dan betina. Hasil penelitian tentang nisbah kelamin ikan lemuru saat ini sama dengan penelitian oleh Merta (1992a) yang menyebutkan bahwa jumlah ikan lemuru betina sedikit lebih banyak dibanding ikan jantan pada Agustus 1989 hingga Juli 1990. Namun dengan uji chi-kuadrat didapatkan hasil nisbah kelamin ikan lemuru jantan dan betina berada dalam keadaan seimbang. Kondisi nisbah kelamin yang seimbang secara keseluruhan juga ditemukan oleh Ritterbush (1975) & Setyohadi (2010) di perairan  Selat Bali; Mahrus (1995) di perairan Selat Alas; Burhanuddin et al. (1984) pada Sardinella sirm di Pulau Panggang; Tampubolon et al. (2002) pada Sardinella longiceps di Teluk Sibolga. Nisbah kelamin digunakan untuk melihat populasi ikan dalam mempertahankan kelestariannya. Agar kelestarian populasi tetap terjaga idealnya rasio jenis kelamin berada pada keadaan seimbang atau jumlah ikan betina lebih banyak (Wahyuono et al., 1983).
Perbandingan rasio kelamin ikan lemuru pada tiap kelompok ukuran dan zona daerah penangkapan cenderung berbeda. Pada kelompok ukuran 13,0-16,9 cmFL rasio jenis kelamin jantan dan betina cenderung seimbang. Sedangkan pada kelompok 17,0-19,9 cmFL rasio jenis kelamin berada dalam kondisi tidak seimbang dimana ikan betina lebih banyak dibanding jantan. Pada daerah penangkapan zona II, V dan VI ikan lemuru betina lebih banyak dari ikan jantan. Sedikitnya jumlah ikan jantan diduga disebabkan umur ikan jantan telah memasuki penuaan dan lebih cepat mati akibat laju pertumbuhannya yang lebih cepat daripada ikan betina. Menurut Balan (1973) dalam Merta (1992a) & Dulkhead (1968), rasio ikan jantan dan betina ikan Sardinella longiceps yang tertangkap di perairan Mangalore dan Kochin (India) tidak berbeda nyata. Untuk ikan yang belum matang gonad, ikan betina lebih banyak daripada ikan jantan, sedangkan untuk ikan-ikan yang telah memijah (spent)  adalah sebaliknya (Radhakhrisnan, 1969 dalam Merta, 1992). Fenomena ini disebabkan ikan-ikan betina mortalitasnya lebih tinggi saat setelah memijah (Bal & Rao, 1984 dalam Merta, 1992).
Rata-rata ukuran pertama kali matang gonad ( length at first maturity) didefinisikan sebagai ukuran panjang dimana diperoleh 50% kumulatif persen frekuensi ikan dalam kondisi matang gonad. Ikan lemuru betina memiliki ukuran yang lebih panjang dibanding ikan lemuru jantan pada saat pertama matang gonad. Menurut Udupa (1986), ukuran ikan pada waktu matang gonad pertama (Lm) adalah bervariasi antar spesies dan di dalam spesies itu sendiri sehingga ikan-ikan pada kohort atau ukuran yang sama tidaklah perlu mendapatkan kematangan gonadnya yang pertama pada suatu umur atau panjang yang sama pula. Nilai Lm ikan lemuru jantan dan betina pada penelitian ini berturut-turut adalah 17,78 dan 18,91. Menurut Wujdi et al. (2012), ukuran tersebut dicapai pada saat ikan lemuru di perairan Selat Bali berumur antara 1,4 hingga 2 tahun. Merta & Badrudin (1992) mendapatkan nilai Lm yang lebih kecil yaitu 17,6 cm untuk ikan lemuru betina. Sedangkan Setyohadi (2010) memperoleh nilai Lm ikan lemuru betina pada ukuran 17,5 cmTL. Secara umum ikan lemuru mengalami kematangan gonad yang pertama terjadi pada kisaran panjang antara 65-75% dari panjang maksimum (Setyohadi, 2010).
Hasil penelitian ini diperoleh nilai rata-rata ukuran ikan lemuru yang tertangkap (Lc) dengan ukuran panjang cagak 14,23 cm atau saat ikan berumur antara 0,8 sampai 1 tahun (Wujdi et al., 2012). Nilai Lc pada penelitian ini lebih kecil dibandingkan hasil penelitian Setyohadi et al. (1998), dimana diperoleh nilai Lc = 15,9 cm. Dwiponggo et al. (1986) memperoleh Lc yang lebih kecil daripada penelitian ini yaitu 13,5 cm. Perbedaan tersebut diduga dipengaruhi oleh perbedaan distribusi panjang ikan yang menjadi contoh saat pengamatan. Disamping itu juga dipengaruhi oleh jenis alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan lemuru. Sampel ikan yang tertangkap oleh alat tangkap bagan dan payang biasanya memiliki ukuran yang lebih kecil.
Panjang ikan lemuru pertama kali tertangkap pada penelitian ini lebih kecil dari ukuran panjang ikan pertama kali matang gonad (Lc < Lm). Hasil ini menunjukkan bahwa ikan-ikan yang tertangkap dengan menggunakan alat tangkap pukat cincin kebanyakan ikan muda dan belum mengalami matang gonad (immature). Hal ini diduga disebabkan oleh ukuran mata jaring pukat cincin yang digunakan terlalu kecil yaitu sekitar ¾ inchi dan dioperasikan di daerah-daerah dan waktu-waktu yang bertepatan dengan melimpahnya ikan lemuru muda. Terkait dengan hal tersebut diatas disarankan penggunaan alat tangkap pukat cincin dapat menggunakan mata jaring yang lebih besar daripada mata jaring yang digunakan pada saat ini. Apabila kegiatan penangkapan pukat cincin terus menggunakan mata jaring dengan ukuran seperti saat ini dikhawatirkan akan mengakibatkan proses rekruitmen terhambat karena banyaknya ikan tertangkap yang belum matang gonad.
Ukuran rata-rata ikan betina semakin besar sesuai dengan tingkat kematangannya yang disebabkan oleh pertambahan berat gonad dan ukuran telur sehingga ikan yang gonadnya semakin matang akan memiliki Indeks Kematangan Gonad yang semakin tinggi pula. Sangat rendahnya nilai GSI rata-rata tersebut menunjukkan terlalu banyaknya ikan tertangkap berukuran kecil yang umumnya masih dalam kondisi belum matang gonad (immature) dengan berat gonad yang masih ringan.
Gambar 5 dan 6 menunjukkan bahwa distribusi nilai TKG dan IKG ikan memiliki nilai tertinggi pada bulan September. Berdasarkan hal tersebut musim pemijahan ikan lemuru diprediksi dimulai pada bulan September hingga 1 atau 2 bulan setelahnya (Oktober atau November) dan menyebar pada Zona VI (bagian selatan perairan Selat Bali dekat paparan pulau Bali). Oleh karena itu, nelayan disarankan untuk tidak melakukan aktivitas penangkapan di wilayah tersebut pada periode bulan September hingga November. Hal ini senada dengan hasil penelitian Wudianto (2001), dimana sebaiknya nelayan tidak melakukan penangkapan pada saat ikan lemuru masih berukuran kecil (sempenit) yaitu antara bulan September hingga Oktober. Menurut Merta  et al. (2000) semakin ke selatan ukuran ikan lemuru yang ditemukan semakin besar. Sedangkan Wudianto (2001) melalui survey akustik menemukan ikan lemuru berukuran besar (>17cm) terkonsentrasi di bagian tengah dan selatan Selat Bali. Terdapat perbedaan musim pemijahan pada periode penelitian Agustus 2010-Desember 2011 dengan penelitian sebelumnya. Menurut Merta (1992b), berdasarkan pengamatan visual terhadap gonad dan kondisi memijah salin (spent)  pada ikan lemuru betina musim pemijahan ikan lemuru di Selat Bali terjadi dalam beberapa bulan, yaitu Mei sampai Agustus dan September dengan puncaknya terjadi pada bulan Juli. Menurut Dwiponggo (1972), Ritterbush (1975) dan Burhanuddin, et al. (1984), musim pemijahan ikan lemuru bertepatan dengan terjadinya proses penaikan air laut (upwelling)  di perairan Selat Bali. Selanjutnya menurut Burhanuddin & Praseno (1982), upwelling terjadi pada musim timur yaitu pada bulan Juni-Agustus. Dengan adanya proses penaikan massa air (upwelling)  diperkirakan tersedia nutrient yang cukup di perairan Selat Bali sehingga ikan lemuru melakukan pemijahan pada waktu yang bertepatan dengan terjadinya upwelling.
KESIMPULAN
1.    Rasio jenis kelamin ikan lemuru jantan dan betina secara keseluruhan adalah seimbang dan pada ikan yang matang gonad jenis kelamin betina lebih banyak dibandingkan jantan sehingga kelangsungan rekruitmen dapat terjaga.
2.    Rata-rata ukuran panjang pertama kali matang gonad ( Lm) ikan lemuru lebih besar daripada ukuran panjang populasi tertangkap (Lc). Dengan demikian sebagian besar ikan lemuru tertangkap belum memijah. Hal ini sangat membahayakan kelestarian sumberdaya ikan lemuru.
3.    Indeks kematangan gonad ikan lemuru berfluktuasi dan memiliki nilai tertinggi pada bulan September 2010 (5 ,5%) dan September 2011 (14,4%). Adapun musim pemijahan ikan lemuru diprediksi dimulai pada bulan September hingga Oktober atau November berlokasi di bagian selatan perairan Selat Bali mendekati paparan pulau Bali. Sebaiknya wilayah ini perlu dilindungi dengan cara penutupan area (closing area)  atau penutupan musim (closing season) sehingga spawning stock ikan lemuru dapat terjamin.
PERSANTUNAN
Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan penelitian Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Lemuru di Selat Bali kerjasama penelitian antara Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia dengan Kerajaan Norwegia pada tahun 2010-2011 dengan judul Capacity Buliding in Fisheries and Aquaculture. Penulis mengucapkan terima kasih kepada pemerintah Norwegia atas bantuan dana untuk penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Burhanuddin & D.P. Praseno. 1982. Lingkungan Perairan Selat Bali. Prosiding Seminar Perikanan Lemuru, Banyuwangi 18-21 januari 1982. p. 27-32.
Burhanuddin, M. Hutomo, S. Martosewojo & R. Moeljanto.  1984. Sumberdaya Ikan Lemuru. LON-LIPI, Jakarta. 70 p.
Dulkhead, M.H. 1968. Sex Ratio and Maturity Stages of the Oil Sardine, Sardinella longiceps Val from Mangalore Zone. Indian Journal Fisheries. 15   (1&2): 116-126.
Dwiponggo, A. 1972. Perikanan dan penelitian pendahuluan kecepatan pertumbuhan lemuru (Sardinella longiceps) di Muncar, Selat Bali. LPPL (021): p. 117-143.
Dwiponggo, A., T. Hariati, S. Banon, M.L. Palomares, & D. Pauly. 1986. Growth, mortality and recruitment of commercially important fishes and penaeid shrimp in Indonesia waters. ICLARM Technical Report. 17. 91  p.
Effendie, I. M. 2002.  Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Bogor. 163 p.
Holden, M. J., & D. F. S. Raitt. 1974. Manual of fisheries science. Part 2: Methods of recources investigation and their application. FAO Fish. Tech. Pap. (115): 214 p.
Mahrus. 1995. Studi  tentang  Reproduksi  Ikan Lemuru (S. lemuru Bleeker,  1853)  di Perairan Selat Alas, Nusa Tenggara Barat. Thesis (Tidak  dipublikasikan). Program Pascasarjana,  Fakultas Perikanan, IPB. Bogor. 84 p.
Merta, I.G.S. 1992. Dinamika Populasi Ikan Lemuru, Sardinella  lemuru Bleeker  1853. (Pisces: Clupeidae) di Perairan Selat Bali dan Alternatif Pengelolaannya. Disertasi (Tidak dipublikasikan). Program Pasca Sarjana-IPB. Bogor. 201 p.
___________. 1992a. Beberapa Parameter Biologi Ikan Lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) dari Perairan Selat Bali. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. (67):  p. 1-10.
___________. 1992b. Review Of The Lemuru  In The Bali Strait. Journal Marine Resources Fisheries. Inst. 67: 91-105.
Merta, I.G.S & M. Badrudin. 1992. Dinamika Populasi dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Lemuru di Perairan Selat Bali. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. (65): 1-9.
Merta, I.G.S, K. Widana, Yunizal & R. Basuki. 2000. Status of the lemuru fishery in Bali Strait; Its development and progress. Papers presented at the workshop on the fishery and the management of Bali Sardinella (Sardinella lemuru)  in Bali Strait, Denpasar 6-8 April 1999 . FAO. Rome. 76 p.
Ritterbush, S.W. 1975. An Assessment of Population Biology of The Bali Strait Lemuru Fishery. LPPL. 1/ 75- PL. 051/75. 37 p.
Setyohadi, D., D. Sutipto, & D.G.R. Wiadnya, 1998. Dinamika populasi ikan lemuru (Sardinella lemuru)  serta alternatif pengelolaannya. Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Hayati. Lembaga Penelitian Unibraw. 10 (1): 91-104.
Setyohadi, D. 2010. Kajian Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Lemuru (Sardinella lemuru)  di Selat Bali: Analisis Simulasi Kebijakan Pengelolaan 2008-2020. Disertasi ( tidak dipublikasikan). Program Pascasarjana Fakultas Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang. 339 p.
Suwarso. 2010. Recording of Catch Landings and Fishery Modeling. Sampling Procedure. Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan. Balitbang Kelautan dan Perikanan. 3 p.
Tampubolon, R.V., Sutrisno. S., & M.F. Rahardjo. 2002. Aspek Biologi Reproduksi dan Pertumbuhan Ikan Lemuru (Sardinella longiceps C.V.) di Perairan Teluk Sibolga. Jurnal Iktiologi Indonesia. 2 (1): 1-7.
Udupa, K. S. 1986. Statistical method of estimating the size of first maturity in fish. Fishbyte. ICLARM. Manila. 4 (2): 8-10.
Wahyuono, H., S. Budihardjo, Wudianto, & R. Rustam. 1983 . Pengamatan parameter biologi beberapa jenis ikan demersal di perairan Selat Malaka, Sumatera Utara. Laporan Penelitian Perikanan Laut. 26: 29-48.

Wudianto. 2001. Analisis Sebaran dan Kelimpahan Ikan    Wujdi, A. Suwarso & Wudianto. 2012. Beberapa Parameter Lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) di Perairan    Populasi Ikan Lemuru (Sardinella lemuru, Bleeker 1853) Selat Bali; Kaitannya dengan Optimasi Penangkapan.    di Perairan Selat Bali. Bawal. 4 (3): 177-184.
Disertasi (Tidak Dipublikasikan). Program
Pascasarjana IPB. Bogor. 215 p.

Sunday, August 21, 2011

Memanage Keamanan Pangan

August 21, 2011 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments
Tingkat pertumbuhan produksi budidaya ikan yang cepat telah mendorong perubahan penting di dalam bagaimana produk makanan hasil laut yang berasal dari kolam budidaya diterima dan dipasarkan ( Josupeit et Al., 2001). Segera sesudah meningkatnya kesadaran tentang kesehatan, dan makanan terjadi ketakutan yang  dihubungkan dengan  penyakit yang ada di daging di tahun 1990an seperti BSE dan Escherichia coli O157, Makanan hasil laut telah memperoleh ketenaran di pasar sebagai lebih sehat dan aman sebagai alternatif  produk daging sapi. Ini adalah bukan untuk dikatakan bahwa makanan hasil laut itu  adalah tanpa permasalahan sendiri, sering hasil penanganan dan pembungkusan yang tidak sesuai prosedur. Di tahun 2000, sebagai contoh, 200 orang-orang jatuh sakit pada suatu kapal pesiar  setelah makan udang yang  dicemari dengan Salmonella ( Anon, 2001). Penyelidikan dalam peristiwa  itu tidak mampu menentukan bahan yang tercemar apakah dari penanganan di dalam kapal atau prosedur penanganan dalam pemrosesan udang di Vietnam.Tetetapi sebagai konsekwensinya pihak keamanan pangan dan obat  AS (FDA) meningkatkan  tingkatan pengawasan udang import yang masuk ke Amerika Serikat.
Di dalam suatu konferensi internasional terbaru mengenai budidaya ikan menuju millennium yang baru ( NACA/FAO, 2000), mutu produk, keselamatan dan pemasaran adalah tema utama. Ini telah dicerminkan dalam beberapa rekomendasi strategis dari pertemuan itu :
Perbaikan pakan, pemberian pakan dan strategi pemanenan untuk meningkatkan mutu produk dan nilai gizi produk budidaya ikan;
    Mempromosikan adopsi dan aplikasi tentang standard keselamatan makanan internasional, protokol dan system yang berkualitas  sejalan dengan kebutuhan internasional seperti Codex Alimentarius;
    Mengadopsi protokol internasional untuk monitoring residu budidaya ikan dan produk perikanan;
    Pemberian label pada pakan budidaya ikan yang informatif, mencakup informasi atas penggunaan zat  aditip, peningkatan pertumbuhan dan bahan lain;
    Mengoleksi, menganalisa dan menyebarkan secara ilmiah isi informasi oleh  produsen dan operator industri untuk membuat keputusan yang diberitahukan dan memastikan kepercayaan konsumen akan keselamatan makanan produk budidaya ikan;
    Aplikasi penilaian keselamatan berdasar pada analisis risiko dan pendekatan pencegahan sebelum masuk pasar, mencakup produk dari biotechnology modern;
    Meningkatkan) kepercayaan konsumen pada produk budidaya ikan dengan memastikan bahwa industri bertanggung jawab akan distribusi dan memproduksi produk yang aman, memanfaatkan sistem yang mengijinkan pencampuran ramuan produk, mencakup informasi pada sewaktu mengepak, memproses dan kondisi-kondisi produksi.
Drafting dokumen yang dibuat panitia menekankan bahwa peningkatan kesadaran konsumen dan permintaan pasar akan memerlukan produsen, para penyalur dan pengolah produk budidaya ikan untuk meningkatkan mutu dari produk mereka dan meningkatkan keselamatan produk dan nilai gizinya. Biaya-Biaya yang tambahan akan disiasati dengan peningkatan harga yang lebih tinggi, menurunkan tingkat tarip asuransi dan tuntutan peningkatan permintaan  konsumen akan lebih tinggi dibanding waktu sekarang.
            Keselamatan perdagangan pangan secara internasional diatur oleh sejumlah persetujuan internasional dan protokol seperti Naskah Codex Alimentarius, standar baku Perserikatan Bangsa-Bangsa ( WHO/FAO) . Codex berlaku pada semua jenis makanan dan dimaksudkan untuk memastikan bahwa produk yang diperdagangkan secara internasional menyesuaikan diri ke sistem standar tunggal serta tidak menimbulkan resiko bagi  kesehatan manusia.
Istilah Codex  mengidentifikasi diijinkannya  tingkat pemberian zat aditip yang disetujui seperti pengatur kadar keasaman, antioxidants, pewarna dan bahan pengawet. Standard kesehatan dilakukan untuk pencemaran makanan oleh material asing, jasad renik dan unsur kimia.
            Sebagai tambahan Codex, Perdagangan internasional diatur dengan persetujuan bilateral dan multilateral antar para pedagang. Persetujuan membuat aturan yang lebih keras terhadap produk yang diimport ke dalam negeri tertentu  atau bloc dagang, atau menetapkan pembebanan tarif yang  bervariasi pada jenis bahan perdagangan yang spesifik  dari atau antar negara.Didalam perdagangan dalam negeri, perdagangan tidaklah diatur oleh Codex  walaupun mengacu pada aplikasi standard yang sama. Keselamatan produk makanan dalam perdagangan domestik pada umumnya dicakup oleh perundang-undangan nasional dan yang diatur oleh satu atau lebih para agen pemerintah. Perundang-Undangan atas keselamatan makanan, atau penyelenggaraan . seperti perundang-undangan, mungkin  di negara berkembang lemah atau di mana perhatian kuantitas makanan lebih diperhatikan daripada  kwalitas makanan .Bagaimanapun, ada indikasi jelas, konsumen didalam Negara  lebih makmur dan berpendidikan lebih baik, permintaan untuk adanya standar baku domestik dan produk yang diekspor menjadi meningkat.
Komisi Eropa (EU) telah mewajibkan penerapan HACCP untuk semua ekspor yang masuk ke semua negara anggota Uni Eropa sejak Januari 1996. EU juga telah membuat peraturan HACCP pada produk ikan dan perikanan (Josupeit et al 2001). Sejak Desember 1997, USFDA telah mewajibkan semua importer Amerika Serikat dan eksporter Amerika Serikat untuk menunjukkan bukti dan menelitinya bahwa mereka telah menerapkan system HACCP dalam pemrosesan dan penanganan produk perikanan. Dalam sebuah survey terbaru, oleh Global Aquacultur Alliance mengatakan bahwa penerapan HACCP oleh importer Amerika Serikat dan Pengolah membutuhkan investasi penting pada saat ini dan  jaminan uang mendapat tanggapan yang positip (Flick, 2001).
 Peraturan dasar HACCP  telah dikembangkan terutama untuk menangkap isu yang berhubungan dengan kesehatan manusia dan keselamatan makanan di dalam persiapan produk makanan. Aplikasi HACCP pendekatannya dirumuskan dengan baik untuk menangani dan pengolahan produk makanan hasil laut dari sewaktu pemanenan sampai dikonsumsi manusia. Di tahun terakhir, bagaimanapun, telah ada beberapa penekanan pada aplikasi HACCP lebih lanjut  di dalam rantai produksi makanan. Suatu kebutuhan untuk mengadopsi HACCP di tingkat produksi untuk petambak udang dan produk budidaya ikan yang lain mempunyai suatu dampak yang besar. seperti tumbuhnya produksi  dan diperdagangkan di Asia, setidaknya paling sedikit untuk  kebutuhan untuk pencatatan proses  dan dokumentasi pada masing-masing langkah proses tersebut. Penetapan  HACCP berdasarkan system dan menjaga secara terperinci arsip untuk mempertunjukkan pemenuhan akan proses produksi yang  bersifat kompleks yang terbagi-bagi dalam sistem produksi yang terpisah-pisah dan didominasi oleh produsen skala kecil. Sukses penerapannya   akan memerlukan usaha yang terkoordinasi  dari banyak para agen dan pihak yang terkait, dan kemungkinan mengakibatkan perubahan utama di dalam produksi sekarang dan sistem distribusi terutama di mana perdagangan pasca panen dikuasai oleh suatu sistem pedagang besar atau perantara kecil melalui lelang pasar hasilnya dibutuhkan untuk dokumentasi[yang terperinci untuk  pencatatan salah satu proses produksi.
Isu pencatatan proses produksi telah ditujukan pada Konferensi budidaya ikan di dalam Millennium ketiga ( Subasinghe et Al., 2001). Di dalam bagian perdagangan, telah direkomendasikan bahwa beberapa sistem untuk memastikan pencatatan proses produksi sampai rantai produksi dibentuk. Kebutuhan akan penelusuran dan mengidentifikasi produk melalui rantai produksi adalah suatu bagian integral usaha  untuk mempromosikan suatu sistem yang standard ( missal. Kode perlakuan, standard pertanian organik, dll.) Ini memerlukan verifikasi bahwa beberapa standard yang dibentuk diikuti. Pembudidaya ikan di  Asia biasanya pembudidaya kecil, dan di beberapa negara sebagian terbesar dari produsen mempunyai suatu tingkat pendidikan yang rendah. Suatu kebutuhan untuk dokumentasi yang luas akan menjadikan suatu beban tambahan pada produsen ini.