Friday, April 29, 2011

PENGARUH PERENDAMAN CUMI-CUMI SEGAR DALAM LARUTAN KITOSAN TERHADAP DAYA AWETNYA SELAMA PENYIMPANAN PADA SUHU KAMAR

April 29, 2011 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments
PENDAHULUAN
Akhir-akhir ini banyak masyarakat membicarakan pengawetan pangan, khususnya penggunaan forma- lin yang dilarang oleh Depkes untuk pengawetan. Formalin bukanlah bahan pengawet untuk makanan, namun merupakan antiseptik mikroba yang hanya digunakan dalam pengolahan produk non pangan seperti plastik. Oleh karena itu para peneliti pangan telah memberikan beberapa alternatif bahan pengganti formalin, seperti picung dan kitosan (Nuraida et al.,2000; Anon., 2006a).
Bahan-bahan pengganti tersebut diharapkan mampu memberikan jaminan keamanan pangan bagi konsumen seiring dengan tuntutan masyarakat yang semakin sadar akan pentingnya keamanan pangan. Kitosan merupakan produk turunan dari polimer kitin,  yang  dihasilkan  dari  ekstraksi  limbah
*)    Peneliti pada Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan pengolahan industri udang dan rajungan. Kadar kitin dalam udang berkisar antara 60–70% dan bila diproses menjadi kitosan menghasilkan 15–20% (Anon., 2001).  
Kitosan dapat diaplikasikan antara lain sebagai penghambat pertumbuhan bakteri, fungi termasuk yang patogen, serta mengimobilisasi enzim dan mikroba. Sebagai agen antibakteri, pertumbuhan E. coli telah dihambat dengan konsentrasi lebih dari 0,02% kitosan dalam media kulturnya. Pertumbuhan beberapa patogen tanaman juga terhambat dengan adanya kitosan. Berkaitan dengan sifat tersebut, pemanfaatan kitosan sebagai fungsi aditif untuk pengolahan pangan telah dikembangkan seperti pengemas pickle kitosan (Hirano, 1988).
Telah dilaporkan pula tentang aktivitas imunologi dari turunan kitin termasuk kitosan yakni kemampuannya menstimulasi resistensi inang pada tikus dalam melawan bakteri seperti Staphylococcus aureus, E. coli, dan kapang seperti Candida albicans sehingga dapat menahan infeksi dan melawan pertumbuhan sarkoma. Studi in vitro menunjukkan bahwa kitosan terutama dalam bentuk larut air dapat memacu makrofag ke bentuk fagositosis non spesifik sebaik aktivitas sitotoksis. Kitosan yang bersifat tidak larut air berbeda secara signifikan dalam menstimulasi respon humoral (rata-rata 250%). Dosis efektifnya adalah 10 x lebih tinggi daripada turunannya yang bersifat larut air. Aktivitas imunoadjuvan dari kitosan telah menerangkan pengaruh derivat kitin dalam hal resistensinya melawan infeksi mikroba dan pertumbuhan tumor ( Knapczyk et al., 1988).
Kitosan banyak digunakan untuk keperluan biomedis, karena sifat-sifat kitosan yang dapat dengan cepat menggumpalkan darah, bersifat hipoalergenik dan memiliki sifat antibakteri alamiah (Anon., 2006b).
Kitin  menekan populasi  total  kapang  dan menstimulasi litik dan antibiotik yang diproduksi mikroorganisme seperti Actinomycetes. Efek anti kapang kitin adalah secara tidak langsung, namun melalui mikroorganisme tanah yang bersifat antagonis. Secara in vitro, bentuk deasetilasi dari kitin, kitosan menghambat pertumbuhan kapang secara signifikan, meskipun beberapa strain atau spesies kapang kurang sensitif. Kitosan tidak hanya berinteraksi secara spesifik dengan kapang, tetapi juga mempengaruhi jaringan, menghambat pertumbuhan sel jaringan dalam suspensi, menginduksi akumulasi fitoaleksin (agen antimikroba dengan berat molekul rendah dan sebagai inhibitor proteinase serta mengubah permeabilitas membran). Kitosan dilaporkan juga mengaglutinasi beberapa jenis bakteri dan khamir (Leuba & Stossel, 1985).
Berdasarkan sifat ini beberapa pakar mengklaim bahwa kitosan dapat digunakan sebagai pengganti formalin yang dapat mengawetkan ikan segar maupun ikan asin (Anon., 2006 a). Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan konfirmasi apakah kitosan mempunyai sifat pengawet pada cumi-cumi segar.
BAHAN DAN METODE
Bahan yang digunakan untuk penelitian adalah cumi-cumi segar yang diperoleh dari TPI Muara Angke Jakarta. Cumi-cumi tersebut langsung dies dalam coolbox dan dibawa ke laboratorium Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, Jakarta. Terhadap cumi-cumi segar dilakukan analisis kimia, mikrobiologi dan organoleptik. Analisis kimia meliputi proksimat, Total Volatile Base (TVB), pH dan kadar air, sedangkan analisis mikrobiologi adalah Total Plate Count (TPC) dan pengamatan organoleptik meliputi rupa, warna, bau, dan rasa secara deskriptif.
Cumi-cumi segar dicuci, ditiriskan dan disortasi/ dipilih yang utuh dan berukuran sama. Kemudian dibuat larutan stok kitosan dengan cara melarutkan kitosan sebanyak 1,5% (b/v)  dalam larutan asam asetat 1%. Kemudian larutan stok tersebut diencerkan dengan akuades sebanyak 2, 3, 4 dan 5 kali hingga masing-masing diperoleh larutan kitosan dengan konsentrasi 0,75; 0,50; 0,38; dan 0,30%. Selanjutnya cumi-cumi segar tersebut direndam dalam larutan kitosan masing-masing selama 30 menit. Pada penelitian ini digunakan 5 perlakuan konsentrasi kitosan termasuk kontrol (cumi-cumi segar yang direndam dalam akuades). Cumi-cumi yang telah diperlakukan disimpan pada suhu kamar dan setiap 8 jam diambil contoh untuk diamati sampai cumi-cumi tersebut ditolak oleh panelis.
Analisis Total Plate Count (TPC) dilakukan dengan metode pour plate (SNI, 1991), Total Volatile Base (TVB) dan kadar air dengan metode AOAC (AOAC,
1999). Pengukuran pH dilakukan dengan alat pH meter. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap dengan 3 kali ulangan. Analisis data dilakukan secara sidik ragam (Anova). Apabila hasil Anova berpengaruh nyata dilakukan uji lanjut Duncan Mul- tiple Range Test (DMRT) (Steel & Torrie, 1989).
HASIL DAN BAHASAN
Komposisi Proksimat Cumi-Cumi Segar
Komposisi proksimat cumi-cumi segar disajikan pada Tabel 1. Kadar air pada cumi segar sangat tinggi yaitu 84,84%. Kadar garamnya 0,52% dan kadar abu cukup rendah 0,86%. Hal ini dikarenakan cumi-cumi tidak mempunyai tulang, kadar mineral sekitar 0,2% yaitu selisih antara kadar abu dan kadar garam.

No.      Pa rameter/Param eters            Ka ndunga n/Content
1          Kadar air/Mois ture c ontent ( % )      84.84 ± 0.88
2          Kadar abu/As h c ontent ( % )            0.86 ± 0.08
3          Kadar garam/Salt c ontent ( % )         0.52 ± 0.26
4          Kadar protein/Protein c ontent ( % )   20.68 ± 0.16
5          Kadar lemak /Fat c ontent ( % )          0.16 ± 0.02
6          Nilai pH/pH value       6.44 ± 0.07
7          Kadar TVB/TVB c ontent ( mgN% ) 17.61 ± 1.07
Sedangkan kadar lemaknya cukup rendah (0,16%) tetapi kadar protein cukup tinggi (20,68%). Nilai pH cumi-cumi 6,44 dan kadar TVB cumi-cumi segar adalah 17,61mgN%, yang mengindikasikan bahwa cumi-cumi tersebut cukup segar.
Kadar Total Volatile Base (TVB)
Kadar TVB cumi-cumi dari semua perlakuan meningkat selama penyimpanan, namun dengan laju yang agak berbeda. Pada perlakuan perendaman dengan larutan kitosan 0,30; 0,38; dan 0,50%, peningkatan TVB sebesar 2–3 kali lipat telah terjadi sejak jam ke-8, yang kemudian melonjak drastis hingga hampir atau bahkan lebih dari 10 kali lipat. Hasil analisis statistik menunjukkan tidak adanya pengaruh yang nyata antar perlakuan konsentrasi kitosan (p~0,05), kecuali pada perlakuan konsentrasi kitosan 0,75%. Pada perlakuan ini, meskipun jumlah TVB telah meningkat 2 kali lipat pada jam ke 8, jumlah tersebut tidak meningkat hingga jam ke-16. Peningkatan drastis baru terjadi pada penyimpanan jam ke-24 hingga mencapai lebih dari 127 mgN%. Meskipun demikian, jumlah ini masih lebih rendah dibandingkan dengan jumlah yang dihasilkan perlakuan lain.
 Penyimpanan (jam )/Storage (hour)
0          8          16        24        32        40
0%       17.61±1.07      51.67±4.36     161.34±9.33  221.47±13.12   -          -
0.30%  18.59±2.07      69.39±1.84     128.53±2.50   149.30±8.68   177.62±11.04  -
0.38%  18.68±1.11   121.22±12.14  182.165±0.5   185.05±4.13       536.58±2.13   -
.50%    13.45±1.00      31.17±5.68     148.23±6.22   169.55±0.95    175.56±8.53   -
0.75%  22.15±1.64      41.84±1.64     47.60±1.67     127.43±9.33   153.14±0.50   206.19±1.89
Keterangan/Note:    Tidak dilakukan pengamatan karena sampel telah ditolak oleh panelis/
No observation due to sample rejection by panelists
 Meskipun masih di atas batas yang disyaratkan untuk ikan segar yaitu 30 mgN% (Sikorski et al.,
1990), dapat dikatakan bahwa perlakuan perendaman dalam larutan 0,75% kitosan dapat memperpanjang daya simpan cumi-cumi selama 16 jam, tetapi perlakuan yang lain, termasuk kontrol, hanya mampu memperpanjang daya simpan hingga 8 jam.
Total Plate Count (TPC)
Total Plate Count pada cumi-cumi segar selama penyimpanan mengalami peningkatan sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa sejak awal percobaan (pengamatan jam ke-0), larutan kitosan pada kadar
0,75 dan 0,50% mampu menurunkan jumlah bakteri hingga mencapai 2 siklus log, sedangkan perlakuan kitosan 0,38 dan 0,30% tidak berbeda dengan kontrol. Hal ini mengindikasikan bahwa perlakuan konsentrasi kitosan pada kadar tinggi dapat memberikan efek hambatan terhadap pertumbuhan bakteri.
Pada jam ke-8 jumlah bakteri cumi-cumi dari semua perlakuan berpengaruh nyata terhadap jumlah bakteri. Pada konsentrasi 0,30% jumlah bakteri diturunkan sebesar satu siklus log, sedangkan pada kadar yang lebih tinggi, penurunan dapat mencapai 2 siklus log tanpa adanya perbedaan antar ketiga level konsentrasi kitosan. Jumlah bakteri yang dicapai pada ketiga perlakuan tersebut masih memenuhi standar SNI (SNI 01-2729, 1992) yaitu 5 x 105/g. Namun demikian pada jam ke-16 hanya perlakuan konsentrasi 0,75% yang berhasil menahan perkembangan bakteri dengan peningkatan hanya satu siklus log, dibandingkan dengan perlakuan lain, termasuk kontrol, yang terus meningkat hingga 3-4 siklus log.
Pada jam ke-32 dan seterusnya, semua perlakuan sudah tidak mempunyai pengaruh yang berbeda satu sama lain, dengan jumlah bakteri yang sudah sangat tinggi, yakni mencapai 109 hingga 1011/g.
Berdasarkan hasil analisis TPC tersebut dapat dikatakan bahwa bila didasarkan pada persyaratan SNI, hanya pada konsentrasi minimal 0,38% dengan lama penyimpanan 8 jam saja yang masih dapat diterima. Pada konsentrasi yang lebih rendah dan waktu penyimpanan yang lebih lama, produk sudah tidak memenuhi persyaratan SNI.
Mutu Organoleptik
Penilaian organoleptik cumi-cumi segar secara deskriptif menunjukkan bahwa cumi-cumi dengan perlakuan perendaman dalam larutan kitosan konsentrasi 0,30; 0,38 dan 0,50% memiliki rasa sepet dan sedikit asam, sedangkan perendaman dalam larutan   kitosan   dengan   konsentrasi   0,75% menghasilkan produk dengan rasa sepet dan pahit.
Pola perubahan nilai organoleptik selama penyimpanan cumi-cumi pada suhu kamar terlihat cenderung berkorelasi dengan nilai TVB pada semua perlakuan, yakni semakin tinggi nilai TVB maka penilaian panelis terhadap mutu organoleptik cumi- cumi semakin menurun. Meskipun berdasarkan nilai TVB, sebenarnya produk sudah melewati ambang batas kesegaran sejak jam ke-8, tetapi dari hasil pengamatan rupa, warna, bau dan tekstur, dengan mengesampingkan adanya rasa pahit, produk baru ditolak panelis pada jam ke-24 untuk kontrol, jam ke- 32 untuk perlakuan konsentrasi kitosan 0,30; 0,38; dan 0,50%, dan jam ke-40 untuk konsentrasi tertinggi, yaitu 0,75%. Hal yang sama terjadi dengan hasil pengamatan TPC, dimana pada kontrol dan perlakuan 0,30% jumlah bakteri sudah melebihi standar pada
P e nyim pa na n (ja m )/S to rage (h ou r)
0          8          16        24        32        40
 0%      4. 48    7.12     8.48     9.48     -           -
0.30% 4. 24    6.46     7.30     9.94     10.99   -
0.38% 3. 68    5.91     7.96     9.11     10.50   -
0.50% 3. 94    5.36     7.16     8.59     8.86     -
0.75% 2. 73    5.10     6.62     9.70     10.15   11.15
Keterangan/Note: –  Tidak dilakukan pengamatan karena sampel telah ditolak oleh panelis/
No observation due to sample rejection by panelists
 Kondisi di atas mengindikasikan bahwa meskipun menurut penilaian panelis, perlakuan perendaman pada larutan kitosan dapat memperpanjang masa simpan cumi-cumi hingga lebih dari 24 jam, namun untuk tujuan ekspor, produk sudah akan ditolak pada jam ke-8 karena tidak memenuhi standar yang ditetapkan. Bila dilihat dari TPC dan TVBnya, memang produk yang diberi perlakuan lebih dari 0,75% masih dapat diterima hingga jam ke-16, tetapi panelis kurang menyukai adanya rasa tambahan yaitu agak pahit.
Selain rasa pahit, perlakuan perendaman dalam larutan kitosan dengan konsentrasi 0,50 dan 0,75% menyebabkan penampakan yang kurang baik, karena perlakuan kitosan tersebut mengakibatkan kulit cumi- cumi terkelupas, meskipun warna dan tekstur tidak berubah yakni berwarna ungu kecoklatan dengan tekstur kenyal dan elastis. Hal ini kemungkinan disebabkan karena pengaruh asam asetat sebagai pelarut kitosan.
KESIMPULAN DAN SARAN
1.         Berdasarkan nilai TVB dan TPC, perlakuan perendaman dalam larutan 0,75% kitosan dapat memperpanjang daya simpan cumi-cumi selama
16 jam, sedangkan perlakuan yang lain, termasuk kontrol, hanya mempunyai daya simpan hingga 8 jam.
2.         Dari hasil pengamatan rupa, warna, bau dan tekstur, dengan mengesampingkan rasa tambahan, produk baru ditolak panelis pada jam ke-24 untuk kontrol, jam ke-32 untuk perlakuan konsentrasi kitosan 0,30; 0,38; dan 0,50%, dan jam ke-40 untuk konsentrasi tertinggi, yaitu
0,75%.
3.         Pada konsentrasi kitosan 0,38 dan 0,50% terdeteksi rasa tambahan berupa rasa sepet dan agak asam, sedangkan pada konsentrasi 0,75% rasa tambahan berupa rasa agak pahit. Pada konsentrasi di atas 0,50% kulit cumi banyak terkelupas, sehingga menurunkan nilai rupa/ kenampakan.
4.         Penggunaan  pelarut  asam  asetat  perlu dipertimbangkan karena berpengaruh terhadap rasa dan kenampakan produk. Penggunaan kitosan larut air  (karboksimetil  kitosan) disarankan untuk diteliti.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2001 Chitosan bahan alami pengganti forma- lin.  http://antara news.co./chitosan.html 2001. Diakses 22 November 2006.
Anonim. 2006a. Chitosan sebagai bahan pengganti for- malin lebih aman sebagai pengawet makanan. Unhas, 7 Januari 2006. http://www.kompas.com/ kesehatan/news/0601/07/081509.htm
Anonymous. 2006b. Chitosan: manufacture and proper- ties. http://en.wikipedia.org/wiki. chitosan. Diakses
21 November 2006. 4 pp.
AOAC. 1999. Official Methods of Analysis, 13th ed. Asso- ciation Official of Analytical Chemist. Washington DC.
1018 pp.
Hirano, S. 1988. Production and application of chitin and chitosan in Japan. In: Skjack-Braek, G., Sandford, P., and Anthonsen, T. (eds.). Chitin and Chitosan. Elsevier Applied Science. London and New York. p. 39–40
Knapczyk, J., Krowczynski, L., Marchut, E., Brzozowski, T., Marcinkiewicz, J., Guminska, M., Konturek, S.J. and Ptak, W. 1988. Some biomedical properties of chitosan. In: Skjack-Braek, G., Sandford, P. and Anthonsen, T. (eds.). Chitin and Chitosan. Elsevier Applied Science. London and New York. p. 610–615.
Leuba, J.J. and Stossel, P. 1985. Chitosan and other poliamines: antifungal activity and interaction with biological membranes. In: Muzarelli, R., Jeuniaux, C. and Gooday, G.W. (eds.). Chitin in Nature and Tech- nology. Plenum Press New York and London. 215 pp.
Nuraida, L., Andarwulan, N. dan Kristikasari, E. 2000.
Antimicrobial activity of fresh and fermented picung (Pangium edule Reinw) seed againts pathogenic and food spoilage bacteria. J. Food Tech. Industry. 4(2):18–26.
Sikorski, Z.E., Kolakowska, A. and Burt, J.R. 1990.
Postharvest biochem. and microbial changes. In: Sikorski, Z.E. (ed.). Seafood: Resource, Nutrition Composition and Preservation. CRC Press Inc. Boca Reton, Fl. p. 55–75.
SNI 01-2339.1991. Metode Pengujian Mikrobiologi Produk Perikanan Penentuan Total Aerobic Plate (TPC). Dewan Standarisasi Nasional, Jakarta. p. 1–2.
SNI 01-2729.1992. Ikan Segar. Standar Produk Perikanan Komoditas Ikan dan Udang. Dewan Standarisasi Nasional, Jakarta. 2 pp.
Steel, R.G.D. and Torrie, J.H. 1989. Prinsip dan Prosedur
Statistika, 2nd  ed. PT. Gramedia, Jakarta. 748 pp.

Wednesday, April 27, 2011

BERBUDIDAYA UDANG GALAM ( Macrobrachium rosenbergii, de Man )

April 27, 2011 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments


Sebelum mempelajari teknik budidayanya, marilah kita mengenal lebih jauh perihal udang ini, baik pengenalan species, karakteristik maupun sifat-sifatnya.  
Klasifikasi udang galah (Mudjiman, 1983)
Phyllum 

: Arthropoda
Subphyllum 

: Mandibulata
Kelas  

: Crustacea
Subkelas 

: Malacostraca
Ordo  

: Decapoda
Famili  

: Palamonidae
Subfamil 

: Palamoniae
Genus  

: Macrobrachium
Species 

: Macrobrachium rosenbergii, de Man

1.2. KARAKTERISTIK DAN SIFAT-SIFAT UDANG GALAH
1.2.1  Karakteristik Morfologis
Secara umum, udang galah mempunyai karakteristik morfologis sebagai berikut:
Ø  Tubuh beruas–ruas sebanyak 5 ruas yang masing-masing dilengkapi sepasang kaki renang; kulit keras dari chitin; pelura ke dua menutupi pleura pertama dan ke tiga;
Ø  Badan terbagi tiga bagian : kepala+dada (cephalothorax); badan (abdomen); dan ekor (uropoda);
Ø  Cephalothorax dibungkus karapas (carapace); 
Ø  Tonjolan seperti pedang pada carapace disebut  rostrum dengan gigi atas sejumlah 11-15 buah dan gigi bawah 8-14 buah.; 
Ø  Kaki jalan ke dua pada udang dewasa tumbuh sangat panjang dan besar, panjangnya bisa mencapai 1,5 kali panjang badan, sedang pada udang betina pertumbuhan tidak begitu mencolok;

1.2.2  Karakteristik Habitat/Biologis dan Sifat-sifatnya Sedang karakteristik habitat/biologis udang galah adalah:
Ø  Memiliki dua habitat yaitu air payau salinitas 5-20 ppt (stadia larva-juvenil), dan air tawar (stadia juana-dewasa) (Gambar 3); 
Ø  Matang kelamin umur 5 – 6 bulan (mendekati muara sungai untuk memijah lagi;
Ø  Mengalami beberapa kali ganti kulit (molting) yang diikuti dengan perubahan struktur morfologisnya, hingga akhirnya bermorfologis menjadi juvenil (juana); 
Selain morfologi, untuk membudidayakan ikan/udang perlu diketahui sifat-sifatnya; beberapa sifat yang penting diketahui antara lain adalah :
Ø  Euryhalin, yaitu dpt hidup pada kisaran salinitas yg lebar (0-20 ppt);
Ø  Omnivora, yaitu pemakan segala (tumbuhan dan hewan);
Ø  Pada stadia larva, udang galah memakan plankton hewani (zooplankton), seperti rotifera, protozoa, cladocera, dan copepoda;

Gambar 3.  Daur hidup udang galah.

Ø  Stadia Post larva, juvenil, dan dewasa : memakan cacing, serangga air, udang renik, telur ikan, ganggang, potongan tumbuh – tumbuhan air, potongan hewan, jasad penempel, hancuran biji – bijian dan buah – buahan, siput, dan sebagainya, juga memakan jenisnya sendiri (kanibal, khususnya ketika molting);
Ø  Nokturnal, yaitu aktif makan malam hari. Jika lingkungan hidupnya dapat dibuat relatif gelap udang akan aktif makan walaupun siang hari;
Ø  Larva bersifat planktonis, aktif berenang, tertarik oleh cahaya tetapi menjauhi sinar matahari;
Ø  Pada stadium pertama (I), larva cenderung berkelompok dekat permukaan air dan semakin lanjut umurnya akan semakin menyebar dan individual serta suka mendekati dasar. Di alam larva hidup pada salinitas 5 – 10 0/00..
Perkembangan stadia udang galah secara garis besar disajikan pada Gambar 4.
 1.2.3  Tanda-tanda Udang Galah Jantan dan Betina
Perbedaan antara udang jantan dan udang betina adalah sebegai berikut:
Bentuk badang udang jantan dibagian perut lebih ramping dan ukuran pleuron lebih pendek, sedang pada betina bagian perut tumbuh melebar dan pleuron agak memanjang. Letak alat kelamin jantan pada pasangan kaki jalan ke lima, pada betina pada pasangan kaki jalan ke tiga. (Gambar 1).
Udang jantan (Gambar 5):
§  Relatif lebih besar;
§  Pasangan kaki jalan yang kedua relatif lebih besar dan panjang (bahkan dapat mencapai 1,5 kali panjang total tubuhnya);
§  Bagian perut lebih ramping;
§  Ukuran pleuron lebih pendek;
§  Alat kelamin jantan terdapat pada di antara pasangan kaki jalan kelima; 
Udang betina (Gambar 5):
§  Tubuh lebih kecil, badan agak melebar, demikian pula kaki renangnya, membentuk ruang untuk mengerami telur (broodchamber);
§  Pleuron memanjang;
§  Pasangan kaki jalan kedua tetap tumbuh lebih besar, tetapi tidak sebesar dan sepanjang udang jantan;
§  Alat kelamin terletak pada pasangan kaki ke tiga, merupakan suatu  lubang yang disebut thelicum.

 (b); alat kelamin jantan (c), dan alat kelamin betina (d)

Khusus untuk ukuran kaki jalan pada udang galah yang dikenal berukuran panjang/besar, telah dihasilkan varietas yang bercapit lebih kecil yaitu yang disebut Gi-Makro (seperti pada Gambar 5a).  Capit yang lebih kecil ini mempunyai keunggulan tersendiri.
1.3. PERSYARATAN LOKASI
Beberapa kriteria lokasi/calon lokasi yang baik untuk hatchery adalah :
Ø  Lokasi hendaknya mempunyai sumber air laut dan air tawar, karena untuk pemijahan dan larva stadia awal udang galah membutuhkan air payau;
Ø  Lingkungan sekitar bebas dari pencemaran, agar kualitas air pasok memenuhi syarat kebersihan dan bebas bahan pencemar.
Ø  Lokasi aman dari banjir dan bencana alam lain;
Ø  Tersedia sumber listrik;
Ø  Tersedia tenaga kerja;
Ø  Kebutuhan sarana budidaya terjamin;
Ø  Aksesibilitas baik; Ø Keamanan terjamin; 
Ø  Pemasaran benih mudah.
Air sumber harus memenuhi baik kuantitas maupun kualitasnya.  Semakin tinggi kualitas unsur-unsur tersebut maka akan semakin kuat mendukung keberhasilan usaha.  Kualitas air harus memenuhi syarat baik fisik, kimiawi maupun biologi.  Harus dapat menyediakan air dengan salinitas 12 ppt. Nilai-nilai parameter kualitas air dijsaikain pada Tabel 1.
Tabel 1.  Parameter kualitas air untuk pasok unit Hatchery Udang Galah.:
pH
7-8,5
Suhu (oC)
25-30
H2S (ppm)
nil
Chlorin
nil
Nitrat (ppm)
20
Nitrit (ppm)
0,1
Kesadahan total air tawar (mg/l setara CaCO3)
<100 p="">
Kekeruhan
nil
TDS (ppm)
217
Fe (ppm)
<0 .02="" p="">
PO4 (ppm)
0,15
CO2 bebas
nil
     
1.4. SARANA PRASARANA
Fasilitas yang Digunakan Untuk Usaha Pembenihan
Dalam bisnis benih udang galah, ada dua macam unit produksi penghasil benih, yaitu Panti Benih atau yang dikenal dengan Hatchery, dan yang ke dua adalah panti benih skala pekarangan atau dikenal sebagai Backyard Hatchery. Fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan untuk suatu hatchery udang galah adalah sebagaimana disajikan pada Tabel 1.
Tabel 2.  Fasilitas untuk suatu Panti Benih Udang Galah.
No.
Jenis Fasilitas/Peralatan
Keterangan
1.
Bangunan tempat bak-bak pemeliharaan, gudang, alat lab, ruang kerja/administrasi, dll.
Bangunan indoor menunjang untuk terciptanya suhu media budidaya relatif tinggi dan stabil.
2.
Bak-bak pemeliharaan induk
Bisa berupa kolam tanah. Ukuran bergantung pada banyaknya induk (ukuran besar hingga 400-500 m2)
3.
Bak pemijahan
Kolam tanah ukuran minimal 100 m2 dengan kedalam air sekitar 75 cm – 100 cm.
4.
Bak penetasan
Bak fibreglass ukuran (0,5 X 1 X 1) M 3 dengan volume 500 liter.
5.
Bak pemeliharaan larva
-    Kolam tanah ukuran minimal 100 m2 dengan kedalam air sekitar 75 cm – 100 cm, atau
-    Bak beton  kapasitas minimal 510 m3.
6.
Bak pemeliharaan yuwana
-    Bak fiberglass volume 500 liter–
1.000 liter, atau 
-    Bak beton kapasita 5–10 m3.
7.
Bak pemeliharaan tokolan 1-2
-    Bak beton volume 5–15 m3, atau 
-    Kolam tanah ukuran minimal 200 m – 400 m.
8.
Bak penetasan Artemia salina, bak untuk pengobatan, dll. 
- Bak fibreglass, conical, ukuran bergantung banyaknya Artemia yang akan ditetaskan (10-500 ltr).
7.
Tandon air laut, air tawar, dan bak pencampuran air
Bak beton, kapasitas minimal 3x volume bak-bak larva/benih.
5.
Pompa air laut, air tawar
Kapasitas bergantung pada besar kecilnya unit prosuksi (kapasitas 50


ltr/detik atau lebih besar)
No.
Jenis Fasilitas/Peralatan
Keterangan
6.
Peralatan aerasi
Blower sentral atau Hi-blow, sesuai unit produksinya.
7.
Perlengkapan pengepakan
Botol oksigen dan isinya, styrofoam, plastik packing, dan bahan lain.
8. 
Peralatan bantu kerja
(timbangan, ember, baskom, slang sipon, dll.

9.
Peralatan lab (kualitas air, mikroskop, timbangan obat, dll)

10. 
Sumber listrik (PLN/Genset)
Daya sesuai kebutuhan.
11.
Kendaraan angkutan

12. 
Peralatan adminsitrasi

13.
Mess pekerja pos jaga, dll.

14. 
Dapur, dll.


Untuk backyard hatchery, sudah barang tentu fasiltas/peralatannya terbatas, yaitu : 
ü  bak-bak pemeliharaan larva yang umumnya dari tembok dan hanya ditutup dengan terpal; 
ü  peralatan-peralatan bantu kerja budidaya seperti pompa, slang, aerator, perlengkapan pengepakan, timbangan obat; ü peralatan kualitas air yang sederhana. 
ü  dll.
Ruang indoor : harus dapat mempertahankan suhu ruang agar cukup tinggi (air media pemeliharaan larva/benih +/-28-31oC).  Suhu cukup tinggi/optimal tersebut akan menunjang (1) laju pertumbuhan lebih cepat, (2) konversi pakan lebih kecil, (3) serta resiko terserang penyakit lebih rendah.  Untuk bak-bak larva/benih pada backyard hatchery umumnya cukup dengan menutupnya dengan terpal.
Bak pemeliharaan larva bisa dari berbagai bentuk baik persegi maupun conical.  Bak bentuk conical mempunyai keunggulan tersendiri yaitu lebih efektif dalam pengeluaran kotoran, dengan catatan dimensi, debit aliran air dan sirkulasinya menunjang.  Untuk bak-bak yang terbuat dari beton dan fibreglass atau sejenisnya, permukaannya harus benar-benar halus.  Hal ini dimaksudkan agar pembersihan kotoran dan penyuci-hamaan dapat lebih efektif, karena kotoran dan permukaan yang tidak rata menjadi tempat hidup dan berkembangnya organisme penyakit. Beberapa contoh fasilitas hatchery disajikan pada Gambar 6.
Salah satu sarana penting yang harus ada pada hatchery adalah sarana biosekuriti, berupa bak cuci kaki (foobath), bak cuci tangan (handwash), dan pagar keliling.  
Unit sarana budidaya yang umum ada di masyarakat adalah merupakan sistim air diam (stagnant water system). Dalam perkembangannya, unit budidaya sistim resirkulasi sudah mulai diaplikasikan. Sistim ini mempunyai keunggulan yaitu dengan luas/volume yang sama, produksinya lebih besar (tingkat produktivitasnya lebih tinggi). Namun demikian dalam unit sistim ini perlu pengontrolan yang ketat agar terhindar dari serangan penyakit.